Rabu, 23 April 2008

Jakarta Blues

Jakarta Blues
a Novel
by
wongblokm

Rif, Cimanggis, 05.00-06.00


”Cepppaaaattt, mandi apa cari wangsit loo !”
”Ngapain aja sih lo, mau bertapa ?”
Braaaakk !!!, ”Diam kenapa sih, gua juga bayar kontrakan penuh tahuu !!”
Benar, suara-suara itu datang dari telingaku. Suara sember Mbak Diah, istri Mas Dirman, ditambah suara tinggi melengking Mbak Dewi, dan tentu saja suara galak si Dino. Aku lihat jam wekerku. Tentu saja, sudah setengah enam ! Dan janji interviewku jam 10 pagi. Minimal aku harus sampai disana jam 9. Sial ! Tiga jam lagi, apa bisa sampai ke perkantoran di Sudirman dari Pasar Rebo pada hari Senin pagi dan aku sama sekali belum mandi dan sarapan ?
Aku langsung berdiri. Separoh tubuhku menurut perintahku, separoh lagi masih belum. Gubrak !
Tak ayal lagi aku jatuh dengan posisi satu kaki menginjak lantai, dan satu lagi masih di atas kasur tipisku, dan kepala mencium lantai !
Sial ! Apa ini pertanda interviewku gagal lagi ? Dengan kepala nyut-nyutan aku bangun dan langsung menyambar handuk di gantungan pakaian di dalam kamar.
Benar, di luar si Dino aku lihat baru keluar dari kamar mandi satu-satunya di kontrakan kami. Mbak Diah langsung menerobos masuk kamar mandi tanpa peduli dengan setengah menabrak Dino yang hanya memakai celana pendek dan rambut basah berkalung handuk.
”Dasar, kenapa sih gak bisa sabar !”, umpat Dino tanpa peduli dengan tatapan marah Mas Dirman, dan Mbak Dewi.
Oh, Tuhan, aku antrian ketiga ?
Kalau hari-hari yang lain aku memang sengaja mengalah, mandi terakhir kali, karena toh sudah 2 bulan ini aku hanya lontang-lantung melamar kerja. Tapi hari ini ?
Satu kamar mandi untuk empat pintu kontrakan. Tapi apa yang bisa diharapkan di Jakarta dengan uang 125 ribu per bulan ?
Kalau hari-hari lain, melihat Mbak Dewi antri mandi bisa menjadi selingan yang mengasyikan, tapi hari ini daster putih tipis dari Bali janda muda sexy berumur 25 tahun yang kerja di bagian administrasi pabrik di Jalan Raya Bogor itu sama sekali tidak menarik bagiku. Jam berapa aku dapat jatah antrian mandi ?
”Mas, bisa gak kalau setelah Mbak Diah yang mandi saya, saya mau interview nih!” kataku sedikit memelas pada Mas Dirman.
”Emangnya gua gak kerja apa, enak aja luh!”, jawabnya sengit dengan logat Jawa yang medok.
”Iya tuh, kan harus antri, tumben sih kamu nyela-nyela”, timpal Mbak Dewi sewot.
Ya, terpaksa, aku harus mandi. Dengan cuek aku nyalakan kran air di antara kamar mandi dan sumur yang biasanya digunakan buat cuci pakaian dan wudhu. Dan aku jongkok, dan aku copot kaosku. Dengan hanya bercelana pendek aku mandi! Bersabun, dan menggosok seluruh badan kecuali yang ada di balik celana pendek!
”Hei, hei !” Cuma kata-kata itu saja yang keluar dari mulut Mbak Dewi dan Mas Dirman.
”Dasar lo udah gila ya Rif!” teriak Dino sambil menjengukkan kepala dari pintu kontrakannya.
Kepalang tanggung, aku keramas! Rambut yang satu minggu tidak pernah ketemu shampo gara-gara penghematan keuangan, aku cuci dengan sampho sachet 250 perakan, yang tinggal separuh isinya. Moga-moga aja cukup bersih dan wangi, pikirku. Dan bersabun lagi, bentuk kemewahan yang hanya terjadi pada mandi pagi buatku.
Kurang dari 10 menit aku sudah selesai semuanya. Dengan tatapan setengah bingung dari Mas Dirman dan Mbak Dewi, aku langsung memakai handuk mengeringkan semuanya dan masuk kontrakan. Untung tadi malam Mbak Dewi sudah berbaik hati menolongku menyetrika baju lengan panjang putihku satu-satunya dan celana panjangku, yang tentu saja harus dengan memakai sedikit rayuan. Untung selama ini Mbak Dewi selalu mau membantu, meski aku tahu alasannya di balik itu dari setiap kerlingan matanya. Hanya dua baju lengan panjang yang masih layak pakai sekarang, sisanya tiga baju lengan pendek dan dua celana panjang kain.
Nasib, padahal baru berselang setengah tahun yang lalu aku masih mampu beli baju, makan di siang di restoran fast food di mall, bahkan sesekali masih mampu menonton film di cineplex dan mengirim uang ke Pasuruan, ke bapak-ibu.
Sial, ternyata yang disetrika Mbak Dewi bukan celana panjang warna coklat muda eksekutif 99ku, tapi celana hitam yang sudah berlubang kena api rokok di bagian paha atas. Ya, terpaksa, daripada aku memakai celana panjang yang belum disetrika, aku pakai juga celana itu. Putih-hitam, mirip pegawai rumah sakit, pikirku sambil mematut diri. Terpaksa, moga-moga saja mereka tidak terlalu memperhatikan penampilan, pikirku.
Jam enam kurang sepuluh menit tepat aku keluar dari kontrakan. Waktuku masih tersisa 2 jam 40 menit. Kalau semua lancar, artinya aku keluar gang langsung dapat angkot ke Terminal Kampung Rambutan, bis Patas AC Rambutan-Kota ada, dan lalu lintas lancar, artinya aku akan sampai di kantor yang aku tuju 2 jam lagi, dan aku masih punya sisa waktu 40 menit lagi sebelum jam 9. Aku selalu datang 1 jam lebih awal kalau diundang interview kerja.
Setengah berlari aku menyusuri gang di depan kontrakan. Dan, terima kasih Tuhan, ada angkot yang menunggu penumpang persis di depan gang. Masih ada tempat, aku langsung naik dan duduk. Dan, tiba-tiba tirai hijau kebiruan turun di depan mataku, aku pening dan merasa ringan.
Ya Tuhan, jangan sekarang......


Sita, Kelapa Gading, 07.00-07.15

”Tit-tit-tit-tit !”
”Tit-tit-tit-tit !”
”TIT-TIT-TIT-TIT !”
Perasaan saya masih bermimpi. Saya mulai buka mata. Dimana ini ?
Saya lihat sekeliling, pakaian, mata masih berat saya paksakan buka, mana pakaian saya, tinggal pakaian celana dalam saja, dimana saya ?
”TIT-TIT-TIT-TIIIIT !”
Akhirnya, saya temukan sumber suara itu. Beker. Di atas meja rias. Jam 06.01 pagi. Saya pukul. Saya matikan.
”TIT-TIT-TIT-TIIIIT !”.
Suaranya makin keras, di kepala !
”TIT-TIT-TIT-TIIIIT !”.
Terhuyung saya coba berdiri. Suaranya makin keras, dan memukul-mukul kepala ! Saya temukan sumber suaranya, sebuah beker digital warna kuning berbentuk kotak di meja di samping tempat tidur. Saya pencet tombol yang menonjol di atasnya.
Getaran dan suara beker itu berhenti. Tapi suara di kepala saya tidak. ”TIT-TIT-TIT-TIIIIT !”.
Saya coba berpegangan pada tembok. Tembok warna kuning. Ini bukan kamar saya! Ini juga bukan rumah saya! Saya coba melangkah, berpegangan tembok ! Ada sebuah pintu di depan. Pintu itu, saya buka. Ternyata kamar mandi.
Saya nyalakan shower, tidak keluar air. Saya nyalakan kran bath tub. Saya guyur kepala saya dengan airnya. Dingin. Suara itu mulai hilang.
Terhuyung saya kembali ke tempat tidur. Foto Aditya dan Fitri, istrinya, di atas tempat tidur. Ini kamarnya!
Mata saya benar-benar terbuka kini. Saya di kamar Aditya? Ini apartemennya!
Mulai tercium bekas bau keringat laki-laki di atas tempat tidur. Bercampur bau keringat saya.
Jins, kaos tank top merah maroon, dan sepatu sneaker saya teronggok di kaki tempat tidur. Apa yang saya lakukan semalam?
Apa yang kami lakukan? Apa yang dia lakukan kepada saya? Saya bersetubuh dengan Aditya? Saya periksa satu-satu.....
Sepertinya tidak! Saya masih tetap memakai celana dalam, cuma itu. BH hitam transparan teronggok di sebelah tempat tidur yang lain, dan hanya celana dalam hitam berenda satu-satunya yang menempel. Saya lihat bercak putih di paha, ada di sana, menempel. Bekas sperma! Si Adit? Kepala saya makin berdenyut-denyut, sakit.
Saya pejamkan mata lagi. Saya di kamar Aditya. Kemana si Adit? Badan saya lemas, ngilu. Apa yang terjadi tadi malam? Persetan dengan Adit!
Samar-samar, saya ingat tadi pagi Adit membangunkan dan mengajak ke kantor bersama-sama.
Ini hari Senin? Persetan dengan pekerjaan! Saya mau tidur saja! Tidur panjang. Saya mau tidak pernah bangun lagi! Saya mau semua hilang.



Aditya, Kelapa Gading, 05.00 - 05.45


Jam 05.00. Tanpa beker, tanpa alarm lain pun aku otomatis akan selalu bangun pada jam 05.00 tepat, seberapa malam pun tidur. Sita masih tidur melingkar di bawahku. Sita yang selama ini kuimpikan. Tidur dengan hanya memakai celana dalam sexy.
Sita rekan kerjaku!
Terbayang polah tingkahnya tadi malam.
Dengan tidak sengaja, aku bertemu dengan dia, di cafe di bilangan daerah Jalan Gatot Subroto. Setengah mabuk, sendirian lagi!
Aku memang sudah tidak terbiasa lagi ke cafe hampir selama 1 tahun terakhir ini. Tadi malam pun sebenarnya hanya sekedar karena ada janji dengan calon klien, orang pemerintah, yang akhirnya tidak datang. Dan ada Sita.
Sita yang selama ini kukenal sebagai gunung es. Wanita yang paling dingin dan paling tidak mengenal perasaan yang aku kenal. Sita yang selalu membikin patah hati setiap pria yang mencoba mendekatinya. Termasuk aku, sebelum kenal dengan wanita yang akhirnya menjadi istriku yang sekarang.
”Sita, lagi nunggu siapa lo?” sapaku.
Dengan kaget, dia menolehkan kepalanya. “Hai Dit, kok bisa ketemu disini!”, jawabnya kaget.
”Kok sendirian, di pojok lagi”, tanyaku.
”Ehhmm, aku emang lagi kepingin sendiri, capek”, jawabnya kata per kata dengan berat setengah tenggelam dalam alunan musik.
”Kok?”. Ini bukan Sita yang kukenal. Sita yang selalu tegas, perfeksionis, dan kadang cenderung sinis. Sita yang selalu menjadi lambang kelembutan, tapi juga ketegasan dan kemandirian.
Si gunung es ini bahkan pernah dengan sengaja mematahkan usulan proyek yang aku susun berhari-hari, hanya karena dia tidak senang dengan calon klien yang pernah bertemu dengannya dan sengaja menggodanya secara langsung.
Pada presentasi di depan seluruh anggota direksi dan jajaran manajemen yang terkait, dengan terang-terangan dia berkata kalau di luar semua perhitungan teknis dan finansial yang aku susun, proyek kerja sama itu tidak akan jalan karena dia meragukan kinerja dari perusahaan calon klienku itu.
Sita yang sama dengan aku kedudukannya di kantor, sama-sama general manager, walau pun dia beda bidang, dia di divisi risk management, sedang aku di divisi energi, dengan semangat berapi-api mempresentasikan hasil analisis risk financialnya terhadap rencana kerja sama yang aku susun. Dengan berbagai macam data, yang aku yakin juga dia persiapkan berhari-hari, dia berusaha meyakinkan direksi kalau kerja sama itu secara resiko akan berbahaya bagi perusahaan. Tentu saja aku membantahnya, karena secara legal kami nanti akan bekerja sama secara korporat dengan perusahaan holdingnya, dan bukan dengan dua anak perusahaan yang memang sedang terseok-seok.
Tapi Sita berhasil. Dia berhasil meyakinkan direksi yang semula sudah condong untuk menyetujui bisnis plan yang kususun. Dan itu semua gara-gara kerdipan mata calon partner kami ke dia, yang tidak disukainya.
Itulah Sita. Sita yang kukenal hampir selama 4 tahun masa kerjanya di kantor kami. Sita yang dulu aku juga ikut yang menginterviewnya waktu pertama kali masuk, dengan tatapan mata cerdas dan tajam yang memikat seluruh anggota tim yang menginterviewnya.
Dan malam ini aku melihat Sita yang lain.
”Killing me softly with this song”, gumamnya menirukan suara penyanyi di stage dengan mata yang menerawang. “Kamu sendirian juga kesini Dit ?”, katanya sambil menenggak margarita di depannya. Dia memang satu dari beberapa orang yang tidak pernah bisa memanggil Pak atau Mas ke aku, terutama setelah beberapa kali kami terlibat dalam proyek yang sama dan aku pernah melakukan pendekatan ke dia.
”Ya, gua lagi nunggu Pak Alex, yang barusan SMS kalau mendadak ada anaknya yang sakit. Dan lo sudah cukup minum kayaknya Sit. Gua ga tahu berapa banyak yang sudah lo minum, tapi ini yang terakhir”, kataku sambil mencoba mengambil gelas minuman itu dari tangannya.
”Kamu jangan sok suci Dit. Aku tahu separah apa kamu dulu, lagian ini bukan urusan kamu”, katanya sambil mempertahankan gelasnya. Dulu aku memang lumayan parah, clubbing hampir setiap malam, dan baru berhenti setelah aku menikahi istriku 1 tahun yang lalu. Dan salah satunya gara-gara penolakan Sita.
”Ada apa sih Sit, kok lo lain sekali malam ini”, tanyaku.
”Aku capek, capek sama semua. Capek sama kerja, capek sama rumah, capek sama Jakarta, malah aku capek sama kamu. Aku capek”, desahnya sambil mengibaskan rambutnya yang sebahu lebih dari keningnya dengan tatap mata yang menerawang.
”Lo udah mabuk Sit, sebaiknya gua antarin lo pulang. Naik apa lo tadi kesini ?”, tanyaku sambil berpikir, ada apa sebenarnya dengan anak ini. Setahuku pekerjaannya di kantor selalu bagus. Malahan, dengan umurnya yang sekarang, 32 tahun, jabatan general manager di kantor mengundang banyak kecemburuan dari banyak orang. Aku saja, baru dua tahun lalu jadi general manager, setahun lebih dulu memang dibanding Sita. Tapi waktu itu, umurku sudah 33 tahun.
”Aku naik taksi tadi kesini. Mobil aku tinggalin di rumah, aku juga sudah bosan dengan segala macam mobil. Aku juga malas di rumah”, katanya. Dan Sita mulai menangis! Tanpa suara.
Dengan segala cara, akhirnya aku berhasil mengajak Sita pulang, bahkan setengah memeluk dia waktu jalan ke arah tempat parkir. Tapi Sita tidak mau diantar ke rumahnya, alasannya karena dia agak mabuk. Sita akhirnya aku ajak ke apartemenku. Baru jam 22.00, dan aku sudah mengajak cewek yang ternyata mabuk berat ini ke apartemenku. Untung saja, aku tinggal sendiri, istriku tinggal dan kerja di Surabaya. Ini baru pertama kalinya aku mengajak wanita lain setelah aku menikah masuk ke apartemen!
Dan di apartemen, akulah yang mabuk. Aku memang cuma lelaki biasa. Dan Sita selamanya adalah wanita luar biasa di mataku. Dan aku bisa mabuk hanya dengan memandangnya, dan mendengar suaranya. Akhirnya kami mabuk berdua. Mabuk yang lain.
Dan kami bercinta, walaupun tanpa penetrasi. Tapi kami bercinta. Dan aku bercinta dengan Sita. Sita yang lain. Bukan Sita yang selama ini kukenal. Sita yang agresif dan binal, walau sangat lembut di awal. Walau begitu, dia masih tetap sadar, menolakku ketika aku baru mulai memasuki tubuhnya. Kesadaran yang tersisa dari bersloki-sloki margarita yang sudah diminumnya.
Aku memang bajingan, pikirku sambil masih memperhatikan Sita yang setengah telanjang, hanya memakai celana dalamnya, dan selimut ada di batas dadanya. Sekali bajingan tetap bajingan, dan aku merasa sangat bersalah karena memanfaatkan keadaan Sita yang setengah mabuk itu, walau aku yakin dia juga menikmatinya.
”Sit, bangun Sit ! Lo kan harus ke kantor juga hari ini”, kataku sambil menggoyangkan bahunya. Dan dia hanya menggeliat.
”Bangun Sit !”, kataku di telinganya setengah berbisik, sambil kemudian mencium anak rambut di keningnya. Satu hal yang mustahil selama ini kulakukan, tapi sesudah tadi malam, kemustahilan ini bisa terjadi.
Sambil masih memejamkan mata, Sita menjawab, ”Aku nanti saja Dit, aku mesti pulang ke rumah dulu ngambil baju. Dan aku masih pusing”.
”Ya udah, gua mesti mandi dan berangkat sekarang soalnya. Gua kan mesti periksa lagi dan ACC draft kontrak dan proposal teknis yang mau diajukan ke direksi pagi ini. Dan ingat, nanti jam 10.00 kita mesti interview calon enjiner yang Jum’at kemarin kita bicarain”, kataku sambil mengambil handuk.
Akhirnya, mandi dan segala macam upacara persiapan berangkat kerja aku selesaikan. Aku juga mengeset jam beker digital yang ada di meja samping tempat tidur ke jam 07.00. Paling tidak, nanti si Sita gak bakalan terlalu kesiangan, pikirku.
Aku lihat lagi, di kulkas masih ada sekarton susu murni, cereal, jus jeruk, dan di atas kulkas, masih ada beberapa potong roti tawar, cukup untuk sarapan si Sita. Aku tinggalkan catatan di pintu lemari es buat si Sita, terutama janji interview jam 10 nanti.
Jam 05.45, aku berangkat ke kantor.



Jakarta I

kan kutaklukkan Jakarta,
begitu katamu waktu itu

tapi aku tahu,

Jakarta pasti lebih dulu mengalahkanmu
seperti dilakukannya
padaku

Jakarta yang sibuk. Jakarta yang genit. Tapi juga Jakarta yang kejam.
Sebagai ibu kota negara, sebenarnya Jakarta sudah berlebih daya tampungnya untuk menunjang aktivitas penghuninya sehari-hari. Jakarta yang dipercaya didirikan oleh Faletehan atau Fatahillah setelah kemenangannya mengusir bangsa Portugis, saat ini harus menampung aktivitas penghuni sebanyak 11 juta jiwa pada saat pagi sampai sore hari, dan 9 juta jiwa saat malam hari.
Artinya 2 juta orang yang tinggal di kota-kota di sekitar Jakarta, setiap hari harus keluar masuk Jakarta menggunakan berbagai jenis moda transportasi. 2 juta jiwa tersebut harus berjejal dan berjubel, berbaur dengan 9 juta penghuni Jakarta yang lain.
Bagi orang daerah, kesan pertama kali ke Jakarta mungkin sekali adalah kebingungan dan kekaguman. Benar kebingungan. Bayangkan, Jakarta adalah salah satu kota terpadat di dunia, dan dengan infrastruktur terutama transportasi massal yang sangat jelek. Berbagai etnis mewarnai Jakarta, bahkan penduduknya mewakili hampir setiap suku dan kota di Indonesia, bahkan mungkin dunia. Pendatang baru di Jakarta harus segera bisa menyesuaikan diri dengan berbagai aktivitas, perilaku, bahkan intrik-intrik baik di tempat kerja maupun di jalan raya dan di tempat-tempat umum lain, dengan penghuni Jakarta yang lain.
Tinggal dan bekerja di Jakarta memang menjadi impian banyak orang. Impian mungkin hampir seluruh anak kecil di negeri ini, yang tinggal di daerah, dan disodori oleh berbagai sinetron tentang gemerlapnya kota ini.
Sulit sekali membayangkan baik bagi pendatang baru maupun penduduk Jakarta sendiri, berpuluh juta orang tinggal dan bekerja di Jakarta, dari mana mereka datang, apa pekerjaannya, dan apa mimpi-mimpi mereka ? Kemacetan yang ada dimana-mana dan puluhan ribu orang yang berkerumun di satu titik tertentu seperti terminal dan pasar, seakan membaurkan mimpi untuk bertahan hidup di Jakarta.
Tapi masih sangat banyak orang yang mengadu nasib kesini, ke Jakarta.
Pagi ini misalnya. Hari Senin pagi yang macet. Sangat macet.
Dan terus berulang setiap Senin, bahkan setiap pagi.
Jakarta yang kejam. Mau tidak kejam bagaimana, tiap hari penduduk Jakarta harus menghirup bau nafas kota yang semakin lama semakin parah. Malahan menurut hasil penelitian, Jakarta adalah kota nomor 3 yang paling berpolusi di dunia. Jam-jam dengan tingkat polusi yang paling rendah sebenarnya terjadi pada hari Senin dini hari, setelah hari Sabtu dan Minggu libur, dan sebelum iring-iringan kemacetan dimulai.
Dan yang paling buruk kualitas udaranya adalah hari Jum’at petang.
Senin ini jalanan kota dari arah Kebon Jeruk, Bekasi, dan Depok macet total. Pada ruas-ruas jalan yang menuju ke arah Jakarta, antrian kendaraan hanya bersela beberapa centi saja jaraknya. Dan semua merayap.
Jakarta yang sibuk. Dengan segala macam pernak-perniknya, Jakarta mungkin bisa menduduki peringkat yang bagus untuk kualitas jeleknya jalan bagi kota metropolitan di dunia. Bahkan di pusat kota, Jalan Thamrin dan Sudirman, masih banyak sekali dapat ditemukan jalan yang bergelombang, sehingga membahayakan pengemudi. Belum lagi perkara galian.
Galian kabel PLN, PDAM, gas kota, dan telepon, belum lagi penataan trotoar dan jalur hijau, selalu bergantian menyebabkan kemacetan. Dari semua orang pintar yang tinggal di Jakarta, mulai presiden, menteri, gubernur, pejabat-pejabat, para pakar, sampai pada orang yang mengaku pintar, belum ada satu pun yang bisa mengkoordinasikan galian di jalan.
Jakarta yang genit.
Di pagi hari pun Jakarta mulai kelihatan genit, apalagi di malam hari. Kegenitan dan keseronokan Jakarta mulai terpampang di semua akses jalan masuk ke Jakarta. Berbagai baliho dan papan reklame, mengiklankan produk konsumerisme dan gaya hidup, merayu penghuninya untuk beronani dengan khayalan tentang kemewahan dan angan akan dunia semu.
Dan para penghuni, pendatang, dan semua pemuja dan penghujat Jakarta, tetap akan bangun pada Senin pagi, untuk mulai mengejar mimpi.
Anak sekolah, pada Senin pagi, adalah rombongan raksasa kecil, yang kadang juga sering terpinggirkan. Dengan mata masih merah dan bekas guyuran air mandi di rambut, banyak anak sekolah dengan sia-sia mencoba untuk menyetop angkutan kota yang jarang mau berhenti karena mereka hanya membayar separoh harga. Di sudut-sudut Jakarta, mereka jalan kaki, naik sepeda dan sepeda motor, bahkan diantar sopir pribadi ke sekolah.
Dan ini adalah bentuk kemacetan tersendiri. Berbondong-bondong manusia-manusia kecil itu keluar dari seluruh sudut Jakarta. Dari rumah-rumah gedongan, kompleks perumahan, maupun gang-gang kumuh dan sempit. Ada yang keluar rumah dengan mata berbinar-binar, ada yang masih menyisakan kantuk semalam, dan ada pula yang keluar dengan tatapan mata keterpaksaan dan bekas tangis.
Tapi mereka semua adalah juga penduduk Jakarta. Calon pemimpin, pemimpi, pembangun, dan juga perusak ibu kota.
Dan di pagi hari Senin ini toko-toko kelontong dan warung makan mulai buka. Toko kelontong bahkan mulai buka jam 05.30. Warung makan mulai buka jam 06.00, dan pada pagi hari itu mereka biasanya langsung menyalakan kompor dan tungku, dan mulai memasak, menanak nasi, dan membakar ikan dan ayam.
Tukang sayur dan pedagang pasar bahkan sudah mulai beraktivitas jauh sebelum seluruh penduduk Jakarta yang lain menggeliat dari tidurnya. Dari tengah malam mereka datang dari seluruh penjuru kota Jakarta maupun luar kota Jakarta. Merekalah penguasa malam sebenar-benarnya di Jakarta.
Dengan pendapatan yang sangat minim, mereka bahkan berpeluh di saat orang Jakarta yang lain menaikkan lagi selimutnya. Dan mereka tetap disana, walau Jakarta dihantam krisis, kerusuhan, bahkan revolusi. Dari masa ke masa.
Dan Jakarta Senin pagi ini semakin macet. Mulai berpeluh.
Dan Jakarta semakin tua.
Berpeluh, genit, seronok, tapi semakin tua.
Rif, Kampung Rambutan-Kota, 06.30 - 07.00
”Mas, bangun mas, sudah nyampai Rambutan”
“Mas, bangun, he, ini angkot bukan hotel !”
“Heii, bangun-bangun, wah sial bener dah gua, hare gene udah dapat penumpang teler, bangun-bangun, hei !!”
Akhirnya, guncangan dan hardikan itu benar-benar bisa juga menyadarkan aku, setelah aku berjuang setengah mati kembali ke alam nyata. Sudah sampai Kampung Rambutan, pikirku.
“Maaf bang, ketiduran”, akhirnya jawabku setelah benar-benar mampu bicara.
Mau bagaimana lagi, kalau kukatakan aku baru siuman, tentu si sopir ga percaya. Justru penyakit, kalau boleh disebut seperti itu, inilah yang menyebabkan aku ganti-ganti tempat kerja karena kalau bukan karena ada teguran indisipliner dan tidur di kantor, pasti masalah kesehatan yang jadi sebab, karena sering pingsan.
Memang bukan dari kecil aku menderita kelainan ini, tapi ini dimulai sejak aku tinggal pertama kali di Jakarta. Menurut orang-orang di sekelilingku aku sering pingsan atau kehilangan kesadaran. Sebulan bisa sampai 2-3 kali, walau pernah juga hampir selama 5 bulan aku tidak mengalami pingsan sama sekali, pernah juga selama 1 bulan aku pingsan sebanyak 5 kali.
Dokter, dukun, balian, maupun shinse, semuanya sudah pernah aku coba datangi, dan menurut mereka semua, aku normal, senormal dan sesehat manusia mana pun di muka bumi ini. Tapi aku tetap sering pingsan. Seorang dokter hanya menyatakan tanda-tanda penyakitku ini mirip epilepsi, yang sampai sekarang secara persis dokter itu belum bisa menemukan penyebab penyakitku.
Dengan pelahan, aku keluar dari angkot, membayar ongkosnya, dengan masih diperhatikan dan dipelototi oleh sopir angkot. Jam 06.30. Ya, ini Kampung Rambutan, salah satu terminal bis yang paling sibuk dan paling kotor di Indonesia.
Satu hal yang sama antara hampir semua terminal yang ada di Jakarta adalah baunya. Bau sampah yang teronggok dan belum diangkat lebih dari satu hari, bercampur keringat, dan aneka jenis makanan. Di waktu pagi seperti ini, aneka aroma tersebut masih dilengkapi dengan berbagai bau parfum, mulai yang murahan sampai yang sedikit berkelas. Yang benar-benar berkelas aromanya seperti parfum Bu Ocha, mantan kepala kantorku dulu, tentu saja mustahil ada di terminal sekelas Kampung Rambutan ini.
Tapi aku merasa seperti di rumah. Sopir, kenek, penumpang, calo, petugas, maupun copet, semuanya baru memulai hari, sama seperti aku. Seluruh orang yang ada di terminal Kampung Rambutan ini seperti saudara bagiku, dan juga saingan Sama-sama kaum pinggiran, yang harus memiliki seni tersendiri jika ingin bertahan dan berjuang. Bau got, sampah, keringat, dan parfum yang bercampur baur aku hirup dengan nafas panjang. Memberi tambahan semangat.
Dengan sedikit bergegas, aku berjalan berputar dari tempat berhenti angkot tadi, menuju ke arah bis-bis patas AC Mayasari yang parkir di sisi selatan terminal. Hari ini memang terpaksa harus patas AC, yang artinya juga harus membayar lebih dari dua kali lipat dibanding bila aku naik yang biasa. Terpaksa, daripada baju dan celana yang sudah terseterika rapi ini menjadi kusut.
Ada 3 bis jurusan Kampung Rambutan-Kota yang sedang menunggu penumpang disitu. Aku naik ke bis yang kedua, toh masih dua jam lagi waktu wawancaraku, dan jelas bis pertama sudah penuh penumpang sampai berjejalan di kedua pintunya.
Pertama kali, tiga tahun yang lalu, waktu pertama kali aku bekerja dan naik bis di Jakarta, aku selalu memberikan bangkuku untuk wanita atau orang tua yang kebetulan berdiri. Sekarang, kalau bukan wanita hamil, anak kecil, atau orang tua yang kelihatannya lemah, aku tidak pernah menawarkan tempat duduk pada siapa pun. Berdasar pengalamanku, kita sendiri yang bakal kecapekan.....
Syukurlah, bis yang kedua masih cukup kosong, dan aku masih dapat tempat duduk persis di bangku belakang sopir.
”Hei Rif, nggak nyangka ketemu di bis, kerja dimana sekarang, rapi bener ?”, tiba-tiba saja penumpang di sebelahku menyapa. Aku menoleh, si Ismail, bekas teman kerjaku dulu di kontraktor sipil, dia drafter dan waktu itu aku pelaksana atau enjiner lapangan.
”Halo, aku juga gak nyangka ketemu kamu disini, denger-denger berangkat ke Aceh kerja di BRR ?”, tanyaku.
”Gak lah, gua satu setengah tahun yang lalu sudah keluar dari Aceh. Cukup sembilan bulan gua di Aceh bantuin USAID. Mana mau lah si Dian gua tinggal lama-lama, gak mungkin lagi gua kerja-kerja di luar Jawa”, jawab Ismail. Dian, yang dulu aku kenal sebagai karyawan keuangan, pacar Ismail, ternyata sekarang sudah menjadi istrinya.
Aku ingat Dian, seorang anak keturunan Malang Jawa Timur yang manis dan seksi, tapi juga sangat penuntut dan materialistis. Aku kenal Dian cukup dekat, bahkan boleh dibilang akulah yang menjodohkan Dian dengan Ismail. Perkaranya dulu Dian sebenarnya pernah bilang kalau ingin jadi pacarku, sedang aku sendiri tahu, Dian, walau pun secara fisik di atas rata-rata semua teman wanitaku, bukan tipe idealku untuk jadi pacar. Sedang Ismail, campuran Jawa-Betawi ini memang dari dulu sudah naksir berat sama Dian.
Seperti apa dia sekarang sesudah jadi istri Ismail, pikirku merenung.
”Gua wiraswasta sekarang”, lanjut Ismail memotong lamunanku, ”Biasa, buka trading atau istilah kerennya jualan”.
”Wiraswasta, hebat bener ! Justru aku sekarang lagi cari-cari kerjaan nih, hari ini aku ada panggilan wawancara di Gedung GKBI, Sudirman”
”Mau dong gabung ikutan wiraswasta kalau boleh”, jawabku.
”Lha lu sekarang, kerja dimana ?”,
”Yah, beginilah, dibilangin juga aku mau wawancara pekerjaan. Cerita yang sama selalu berulang”, jawabku. ”Selama satu tahun terakhir ini, aku kerja di 3 perusahaan, mulai dari kontraktor sipil, sampai jadi salesman peralatan rumah tangga”
Ismail kelihatan merenung mendengar kata-kataku. Dan bis mulai berjalan. Hanya memakan waktu 5 menit dari sejak aku masuk dan duduk di bangku ini sampai bis berangkat. Terlalu banyak manusia-manusia yang mengejar mimpi di Jakarta, termasuk aku.
Ismail, hmm, makmur juga kelihatannya hidupnya, pikirku. Sudah hampir dua tahun yang lalu, terakhir aku ketemu dengan dia. Sekarang, dengan celana jins biru dan sepatu Caterpillar yang aku yakin asli, ditambah dengan kemeja lengan panjang drill warna biru tua yang digulung sebatas siku, aku yakin setidak-tidaknya tingkat penghidupannya jauh lebih mapan daripada aku.
Dia masih merenung waktu kondektur datang menagih ongkos bis. Dengan merogoh saku, mencari-cari lembar puluhan ribuan, karena yang aku temukan cuma tujuh belas ribu rupiah, uang kembalian dari angkot tadi. Paling tidak aku bisa membayar ongkos bis si Ismail, pikirku. Aku ingat benar, masih ada 5 lembar sepuluh ribuan di saku kananku ditambah selembar dua puluhan ribu rupiah yang ada di dompet tadi, bekalku hari ini melamar kerja, dan sebenarnya juga hampir seluruh uangku yang tersisa. Dan, ternyata tidak ada.....
Mbak Dewi mungkin sudah mengeluarkan isi kantongku, pikirku bingung. Mungkin ditaruhnya di meja di tempat kosku tadi setelah setrika tadi malam.
”Sudah, gua aja semua yang bayar Rif, lu lain kali aja”, tiba-tiba saja Ismail bicara sambil mengulurkan tangan menarik tanganku yang sudah terlanjur setengah terjulur. Tentu saja aku tidak menolak, dan terlalu goblok bahkan untuk sekedar basa-basi menolak, karena ternyata uangku cuma tinggal tujuh belas ribu rupiah !
”Lu mau emang kalau ikut sama gua wiraswasta ?”, tanyanya tiba-tiba. ”Gua emang butuh orang yang benar-benar bisa gua percaya”
”Ya kan, aku emang bener-bener butuh pekerjaan, dan butuh uang”, jawabku sambil sedikit mencondongkan badan ke depan. Entah kenapa, penumpang yang berdiri di sebelahku tiba-tiba saja agak mendorongkan pinggulnya ke pundakku, ibu hamil, cukup besar, pasti enam bulan lebih, berdiri di bis.
”Kalau gitu, nanti sore lah hubungi kita ketemu, sehabis lu wawancara. Siapa tahu kan lu keterima, jadi gak perlu kerja di tempat gua yang gajinya gak pasti tergantung pemasukan en order. Nih nomor HP gua, nanti hubungi ya”, tegas Ismail, yang pasti tidak akan pernah menyangka kalau uangku di kantong tinggal tujuh belas ribu rupiah dan HP Sony Ericsson 750ku sudah satu bulan lalu aku jual dengan separoh harga pasar, gara-gara ditagih uang kontrakan dan utang di warung mPok Jum.
”Okay, Insya Allah aku hubungi kamu segera”, jawabku sambil beranjak berdiri dan menowel mempersilakan ibu hamil di sebelah kiriku yang berdiri tadi untuk menggantikan duduk.
”Lho, emang lu mau turun ?”, tanya Ismail sebelum sadar kalau aku mengalah berdiri dan memberikan tempat dudukku ke ibu hamil yang berdiri di gang bis.
”Emang lu dari dulu gak pernah berubah, pahlawan metropolitan”, ujar Ismail dengan nada setengah mengejek. Ismail yang dengan sukarela kerja di Aceh selama 9 bulan, dan dia mengejekku hanya karena aku memberikan tempat dudukku ke ibu hamil.
Aku berdiri, setengah terhimpit oleh setiap goyangan bis dan orang yang berdiri di sekitarku. Dan bis kota terus merambat. Pelan. Ke Kota.
Sita, Kelapa Gading, 07.00-07.16
Nama saya Sita, Sita Purnamasari. Meskipun bukan orang Jawa, dan tidak memiliki setetes pun darah Jawa, orang tua memberi saya nama seperti nama orang Jawa, yang menurut mereka sebenarnya bukan nama Jawa, tapi nama nasional. Dari pilihan nama saya, mereka mengharapkan memiliki anak yang cantik, bersinar dan lembut seperti bulan, tapi setia dan berbakti pada suami, seperti Sita, istri Sang Rama.
Nama saya Sita, Sita Purnamasari, saya hidup mandiri. Bagi yang baru mengenal saya, mereka pasti mengira saya masih berumur di bawah dua puluh lima tahun, bahkan masih seperti anak kuliah. Menurut teman-teman saya, wajah saya cantik dinilai menurut standar manapun, bahkan menurut beberapa orang sangat cantik, dengan tinggi dan berat badan yang proporsional. Yang Maha Pemurah memang memberi saya karunia fisik yang bisa membuat rata-rata wanita Indonesia iri.
Belum lagi kalau mereka mengetahui saya juga mempunyai kecerdasan dan kepandaian di atas rata-rata, gelar sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia cukup menjadi bukti bagi orang yang tidak percaya kalau wanita yang cantik dan menarik bisa juga adalah wanita yang pandai, cerdas, dan berkepribadian. Tinggi badan saya yang 167 cm dan berat yang cukup ideal, 51 kg, membuat saya kelihatan ramping, tapi juga padat berisi karena hobi olahraga saya. Kulit dengan warna khas putih kekuningan perpaduan dari ras Mongoloid Asia dengan ras Kaukasoid membuat saya semakin dikagumi lelaki tapi juga mengundang kecemburuan perempuan.
Nama saya Sita, Sita Purnamasari, saya hidup sendiri. Iya, saya memang hidup sendiri, hanya ditemani dua orang putri yang menjadi sumber semangat saya untuk terus bertahan. Bermula dari 30 tahun yang lalu, waktu saya masih berumur 2 tahun, tiba-tiba saja ayah, yang belum sempat saya kenal dengan baik, tiba-tiba saja meninggal karena serangan jantung. Dengan 2 orang kakak saya, yang juga perempuan, ibu membesarkan kami. Ayah meskipun meninggal relatif masih muda, baru berusia sekitar 34 tahun waktu itu, adalah seorang anak tunggal dari pengusaha besar sekaligus mantan penguasa daerah di wilayah Kalimantan. Kami hidup dari warisan yang ditinggalkan oleh ayah dan kakek, yang menurut ukuran rata-rata orang Indonesia sangat besar.
Beruntung saya mempunyai seorang ibu yang selain setia juga mempunyai kepribadian yang hebat dan mandiri. Ibu saya, yang sebenarnya seorang Indo Belanda, memiliki komitmen kuat untuk mendidik tiga orang putrinya sampai setinggi mungkin. Beliau juga cukup bijaksana untuk tidak membatasi hobi putri-putrinya. Dari kecil saya diajar main piano dan organ, begitu pula kakak-kakak saya. Tapi yang mulai kecil tergila-gila olahraga hanya saya.
Saking tergila-gilanya pada olahraga sampai saya hampir melupakan kemampuan saya yang lain, otak saya, sehingga cita-cita saya berubah dari ingin menjadi seorang dokter menjadi ingin menjadi olahragawan profesional. Prestasi saya di cabang bulu tangkis pun cukup bagus, sehingga berhak untuk bisa dibiayai pemerintah bersekolah di sekolah atlit Ragunan. Prestasi demi prestasi saya raih, sampai akhirnya di awal kelas 3 SMA saya harus menguburkan impian menjadi olahragawan profesional. Cedera kaki yang berkepanjangan ditambah penyakit thypus menjadikan saya harus berhenti sementara selama hampir satu tahun, yang akhirnya menjadikan saya berhenti dari olahraga profesional selamanya.
Beruntung otak saya yang cukup encer sehingga menjadikan saya diterima di UI dan akhirnya, hanya dalam waktu 3,5 tahun kemudian lulus dengan predikat cum laude, di umur 21 tahun, di jurusan yang cukup bergengsi di UI, Teknik Gas dan Petrokimia. Di awal-awal saya bekerja setelah lulus kuliah, ibu meninggal, sedangkan kedua kakak saya mengikuti suaminya masing-masing ke Kanada dan Amerika Serikat. Jadilah saya sebatang kara di Indonesia, negeri ayah saya ini. Negeri yang tanpa sadar juga sangat saya cintai.
Nama saya Sita, nama anak saya Latifa dan Zsa Zsa. Iya, mereka anak saya seutuhnya, bukan anak lelaki itu, mantan suami saya, yang bahkan namanya pun sudah saya lupakan, pekerjaannya apa sekarang saya tidak pernah tahu, walau kadang di saat tertentu bau keringatnya tiba-tiba seperti mengambang di kamar dan membuat saya muntah-muntah. Mantan suami, mengingat kata itu pun rasa nyeri tiba-tiba menusuk lambung. Satu kesalahan yang tidak terampunkan buat saya. Satu pilihan yang sangat keliru di masa muda, walau akhirnya tidak pernah lagi saya sesali karena dari pilihan itulah lahir Latifa dan Zsa Zsa, sumber semangat hidup saya.
Saya memang bukan gadis ingusan lagi. Umur saya akan 32 tahun akhir tahun ini, dan banyak orang dengan sembunyi-sembunyi menyebut saya janda muda yang cantik. Pahit, manis, bahkan getirnya hidup pun saya pernah alami. Saya memang lahir dari keluarga yang relatif kaya raya, walau begitu seperti kata orang, kekayaan memang tidak menjamin kebahagiaan, dan bagi saya kebahagiaan itu sudah hilang lebih dari 2 tahun yang lalu waktu pertama kali mendengar mantan suami saya tidak lagi memegang komitmen perkawinan kami. Bahagia ? Rasanya arti kata bahagia bagi saya adalah senyum dan tawa Latifa dan Zsa Zsa, adakah bahagia lagi di luar sana buat saya ?
Dan bahagia buat saya juga berarti kerja. KERJA. Saya akan sanggup kerja sampai lebih dari 50 jam setiap minggu. Kalau tidak karena kedua anak saya, saya bahkan bisa kerja lebih keras. Lebih bahkan dibanding dengan semua karyawan pria di kantor, lebih dari Aditya, kecuali direksi, yang setahu saya mereka adalah orang-orang gila kerja melebihi saya.
Dan saya buktikan, bukan hanya pria yang bisa berprestasi. Saya juga bisa. Saya adalah contoh bagi kedua anak saya, ibu sekaligus bapak, makanya akan saya tunjukkan kalau kerja adalah suatu keharusan hidup bagi setiap orang.
Pernah saya baca cerpen karangan Iwan Simatupang, menurut dia bahagia artinya adalah hampir bahagia, sedang hampir bahagia adalah menunggu. Satu pendapat yang rumit tapi masih masuk ke pikiran saya. Saya selalu menunggu dan bekerja, tapi saya tidak bahagia. Saya selalu menunggu. Hidup saya adalah menunggu kapan bahagia itu datang lagi. Saya selalu menunggu, sebab untuk menciptakan sendiri lagi saya sudah merasa tidak mampu.
Dan tiba-tiba saja mulai minggu lalu, Latifa menanyakan lagi lelaki itu, bapaknya. Pertanyaan yang wajar sebenarnya, karena sudah lebih dari 2 tahun mereka tidak berhubungan sama sekali. Saya pikir Latifa tidak pernah ingat lagi dengan mantan suami saya, tapi ternyata ingatan anak-anak tidak bisa disepelekan.
”Bunda, kapan Latifa bisa ketemu ayah lagi?, Tifa pengen banget bisa jalan-jalan lagi sama ayah dan bunda, dan Zsa Zsa”, katanya dengan mata menerawang.
Apa yang bisa saya jawab? Saya hanya bisa mengelus rambutnya dan menghiburnya kalau minggu besok kami bertiga, saya dan 2 anak saya, akan jalan-jalan ke Ancol.
Dan mata kecil bidadari saya itu merebak air mata! Bukan Ancol yang dia inginkan, dia ingin ketemu ayahnya…
Dan pertanyaan-pertanyaan itu kemudian terus diulang, bukan hanya Latifa, tetapi juga adiknya, yang saya yakin belum dapat membayangkan wajah ayahnya itu. Dan saya semakin bingung, karena saya sudah bertekad tidak akan pernah membiarkan anak saya bertemu dengan lelaki pengkhianat, yang berselingkuh dan menikahi anak buahnya sendiri, meninggalkan saya dan anak-anak.
Nama saya Sita, dan harapan orang tua saya memang saya menjadi wanita yang setia. Juga setia pada kebenaran. Dan rambu-rambu norma. Juga agama.
Dan saya, Sita yang sama, sekarang terkapar di tempat tidur pria, yang bahkan juga bukan suami saya, bukan pacar saya, hanya teman kerja. Suami orang lain....
Dan saya sudah bersetubuh, dengan pria itu. Dengan Aditya. Walau tanpa penetrasi, tapi sama saja, saya sudah bersetubuh dengan pria itu. Dan saya menikmatinya.
Dalam ingatan saya yang setengah kabur, 2 kali saya mencapai puncak semalam. Walau tanpa penetrasi.
Saya yang selama ini selalu memegang komitmen, ternyata sekarang hanya seperti seonggok sampah. Seperti juga beberapa wanita-wanita lain yang saya kenal, yang dulunya saya pandang sebelah mata. Sama juga dengan mantan suami saya yang dengan menangis pernah mengaku meniduri rekan kerjanya di kantor, pengakuan pertamanya yang kemudian terus diulang sampai wanita itu hamil. Sama. Saya hanya sampah.
Tak ada bedanya dengan mantan suami saya dulu. Tak ada bedanya dengan selingkuhannya. Tak ada juga bedanya dengan pelacur, bahkan mungkin lebih parah. Mereka melakukannya karena profesi, sedang saya, hanya karena tuntutan birahi.
Seingat saya, saya tidak pernah menolak Aditya. Bahkan mungkin sayalah yang memulainya, karena juga saya tahu Aditya bukan lelaki yang mudah tergoda dan mengambil kesempatan pada wanita setengah mabuk.
Sayalah yang bersalah. Saya.
Kepala saya pusing. Sangat pusing.
Saya tidak bisa bergerak....
Tubuh saya tidak mau menurut....
Tuhan, mungkin ini saatnya. Tapi mestikah saya Kau ambil di tengah kemaksiatan ?
Saya harus hidup. Mesti hidup.
Ada Latifa. Ada Zsa Zsa.
Dengan pelahan, saya mulai bisa mengangkat kepala, menoleh, terlihat lagi foto Aditya dan istrinya, dan beker, jam 07.15, jarum detiknya tidak bergerak. Dan jam beker yang lebih besar juga sama. Mati.
Tuhan.... Apakah ini pertanda ? Waktu berhenti. Saya harus berhenti ? Dari apa ?
Dari hidup ?
Aditya, Gedung GKBI Sudirman, 08.00-08.30
Lift yang bisa dipesan. Walau setiap hari aku memakai lift ini, setiap kali juga aku masih terheran-heran dengan segala kreativitas manusia, termasuk yang digunakan di lift gedung kantorku ini. Pesan dulu, yang terdekat akan datang, dan diantar rame-rame. Aku segera memencet angka-angka 1 dan 7, lantai 17, dan keluar display G, yang artinya aku harus menunggu di lift G untuk bisa naik ke lantai 17 dengan cepat.
Pencipta teknologi lift ini pasti dapat inspirasi dari delivery systemnya Mc. Donald, pikirku. Pesan dulu, dan pemesan yang berdekatan akan diantar berbarengan, meski mungkin akan menunggu lebih lama dan pesanan sudah mulai dingin.
Pencet nomor lantai, menunggu lift, tiap pagi seakan upacara rutin yang aku lakukan sebelum masuk kantor, setelah upacara pendahuluan yang aku lakukan, menembus belantara kendaraan antara Kelapa Gading ke Sudirman. Dan entah kenapa, hari Senin ini macetnya sangat luar biasa. 2 jam lebih dari apartemenku ke kantor.
“Mas Adit, tumben agak siang, biasanya lebih pagi”, tiba-tiba saja suara manja dari belakangku menyapa. Dan tanpa menoleh aku tahu siapa dia. Nayla. Sekertarisku, yang selalu memanggil Mas, tanpa pernah minta ijin atau aku suruh, di luar jam kantor.
Aku menoleh, dan benar. Nayla berdiri sambil memegang tas kresek, yang aku tahu, kalau ga nasi uduk, ya bubur ayam. Makanan-makanan yang paling mudah didapat di sekitar gedungku, di kaki lima, dan murah. Bahkan cewek-cewek secantik Nayla, lulusan sebuah akademi sekertaris tempat sekolah artis, dengan terpaksa menyampirkan sejenak gengsi mereka di kursi kerjanya, dan turun ke kaki lima di jalan kecil sebelah gedung.
“Bubur lagi atau nasi uduk?”
“Salah dua-duanya, ini gulai sapi”, jawab Nayla.
“Gak salah tuh?”, tanyaku sambil memasuki lift yang sudah kosong di depanku. Aku masih selalu terheran-heran dengan paradoks-paradoks kehidupan Jakarta. Cewek cantik, sexy, berpendidikan cukup tinggi, yang di siang sampai malam hari kelihatan seperti dewi-dewi kahyangan yang “untouchable”, di sisi lain juga mahluk-mahluk rakus, yang tidak segan-segan makan nasi gulai sapi dari pinggir jalan, yang sangat berlemak. Coba kalau cowok-cowok mereka tahu, ceweknya yang kalau malam hanya mau diajak makan malam di tempat semacam Mario’s atau Toni Roma’s, ternyata juga pelahap gulai sapi Bang Madi di tenda pinggir jalan di sebelah got, tentu mereka akan memaki-maki kesal dan lebih memilih untuk mengajak kencan di pinggir jalan karena lebih ekonomis, he-he.
Ini mungkin yang disebut jaim alias jaga image itu.
Dan paradoks yang lain, cewek yang setiap ditanya selalu ceria, manja, dan rajin sholat ini, dengan penuh percaya diri menempelkan dadanya ke punggung dan lenganku di lift. Dan ini bukan yang pertama.
Sayang dia bukan Sita. Hhmm, Sita, aku harus telpon dia nih.
“Tumben kelihatannya cerah sekali pagi ini, emang Mbak Pipit lagi ada di Jakarta ya Mas”, tanya Nayla dari sebelah belakang kupingku. “Emang dapat berapa kali semalam kok kelihatan bersinar-sinar?”
“Hus, aku bersinar-sinar gara-gara pagi-pagi sudah ketemu bidadari yang beli gulai sapi” jawabku bercanda.
Tapi, benar-benar kelihatan ceria kah aku?
Sekeluar dari lift, sikap Nayla langsung formal. Dia langsung tersenyum, ke satpam dan resepsionis di front desk, senyum yang bisa dikategorikan senyuman basa-basi untuk pagi hari. Dan dia menyapaku “Pak”, terutama bila ada orang lain di sekitar kami. Di ruanganku kalau tidak ada orang lain, jangan harap. Selalu mas, dengan mesra lagi.
Bukannya aku tidak tahu selama ini perasaan Nayla. Bahkan secara terang-terangan Nayla pernah mengatakan kalau dia kagum sekali sama aku di depan Sita, yang membuat mukaku merah dan Sita tersenyum menggoda. Tapi itu dulu, sebelum aku menikah dengan Fitri. Setelah aku menikah dengan Fitri, Nayla berpacaran dengan pacarnya yang sekarang. Dan dia juga cukup sering bercerita tentang kegiatan pacarannya itu ke aku, tanpa lagi pernah bicara tentang perasaannya ke aku. Nayla masih cukup menghormatiku sebagai atasannya, dan itu yang aku kagumi dari dia. Meski, terus terang saja mungkin gayanya dari lahirnya dulu memang selalu menggoda, he-he. Seperti pagi ini.
“Dit, jadi kan acara wawancara calon pegawai baru?”, tanya Bang Paladen, manajer HRD, dengan logat khas Bataknya, sewaktu aku memasuki lorong sebelah ruang meeting ke arah ruang kantorku sendiri.
“Jadilah Bang, apa pula kata dunia kalau jadwal kita selalu jam karet”
“Dasar Jawa. Tak pantaslah kau berlogat Tarutung seperti itu. Pokok’e ada 4 orang calon hari ini. Semuanya sudah lolos seleksiku dan punya pengalaman yang kita persyaratkan”
“Okay Bang, jam 10 di ruang meeting kan?”, jawabku sambil terus melangkah meninggalkan dia.
“Yup, aku tunggu kau”, jawab Bang Paladen.
Dan akhirnya aku membuka ruanganku dan menarik kursi kantorku. Satu ruangan sendiri yang terpisah dengan pintu kaca yang setengahnya tidak tembus pandang, cukup untuk privasi tapi tidak cukup untuk memberi kesempatan melakukan hal-hal yang tidak perlu dilakukan di kantor. Dengan segera aku periksa lagi tumpukan file draft kontrak dan proposal teknis yang perlu aku ACC.
Seleai itu, aku ambil satu tumpukan file CV yang sudah diseleksi oleh Divisi HRD yang ada di atas meja. Aku ambil dua yang teratas. CV pertama, Djatmiko, ini pasti orang Jawa, pikirku. CV kedua, Arif Ananta Situmorang, ini yang menarik, nama depan Jawa, tapi dari marga jelas Batak.
Aku lihat kelengkapan CV itu, ijazah S1 Teknik Mesin dari perguruan tinggi negeri di Malang, IPK 2,85. Lumayan. Aku tahu lulusan dari situ rata-rata cukup bisa diandalkan. Yang lebih menarik lagi CVnya, lulus 5 tahun yang lalu, pekerjaan jarang yang pernah lebih dari 1 tahun, mulai dari sales enginer, kontraktor, sampai consultan. Pekerjaan terakhir konsultan pembangunan PLTU, dan berhenti kerja 6 bulan lalu tanpa alasan yang jelas.
Menarik, dari pengalamannya, cukup mampu untuk kerja di divisiku, dan bisa saja di divisi si Sita. Tapi dari konsistensi di tempat kerja, nanti dulu. Walau begitu, orang ini pasti mempunyai pemikiran yang cukup baik, terbukti bisa lolos dari saringan pertama dan kedua, tes IQ dan psiko tes, yang aku tahu si Bang Paladen mempunyai standar yang di atas rata-rata untuk bisa meloloskan pelamar.
Sita, tiba-tiba saja aku ingat, aku harus telpon dia. Dengan otomatis aku langsung pencet nomor 1 di Hpku. Ya, speed dial nomor 1, istriku nomor 2!
Nggak diangkat, tersambung ke veronica.
Aku coba nomor telpon apartemenku, tersambung, nggak diangkat juga. Dimana si Sita. Harusnya dia datang, atau paling nggak dia akan SMS atau telpon kalau terlambat. Dimana dia?
Ruangan di sebelahku baru terisi sekertarisnya saja. Harusnya aku ajak dia berangkat bareng tadi pagi.
Dengan pelahan, aku mulai mengambil notebookku, menyalakannya, dan mulai connect ke internet. Dari microsoft outlook mulai keluar email-email mulai dari hari Jum’at lalu. Email pertama dari Sita, tertanggal hari Jum’at jam 20.00, mengingatkan jadwal bersama untuk interview calon karyawan jam 10.00 hari ini. Ada sekitar 50 email lagi yang masuk, mulai dari draft MOU dari Bang Paladen, kemajuan proyek dari daerah, sampai junk email yang sangat susah buat ditolak.
Sita, email dari dia masuk lagi tertanggal Minggu jam 10.00 pagi. Yang ini pasti dia kirim dari rumah. Menarik, email yang diforward dari milis majalah wanita, mengenai ciri-ciri wanita dan lelaki satu kantor yang menjalin affair. Sangat kebetulan. Ciri-ciri yang laki-laki misalnya, mungkin saja akan kelihatan di aku beberapa hari lagi. Dan yang wanita, bagi Sita mungkin tidak akan pernah kelihatan. Dia tipe yang sangat profesional, dingin, pekerja keras yang tidak pernah menampakkan perasaan pribadi menghadapi siapa pun. Tapi siapa tahu...
Dengan segera aku kirim SMS ke Sita.
Sit, lo dimana? Gw telpon kok veronica? Pagi ini kita ada interview lho, dan siangnya ada meeting dengan direksi. Btw, terima kasih buat semalam.... Gw menikmati sekali, semoga lo juga....
Aku segera pencet tombol send. Dan sesegera itu pula aku menyesal. Sita pasti marah atau menyesal. Dan aku dengan gampang kirim pesan kalau aku sangat menikmati peristiwa semalam. Aku tahu Sita. Walau aku yakin dia juga menikmatinya, tapi dia sangat tertutup untuk masalah-masalah yang seperti ini.
Telepon di mejaku tiba-tiba berbunyi, aku angkat, dari Direktur Operasi, Pak Yudi, yang memintaku menghadap, sambil mengajak Sita. Pasti tentang rencana rekrutmen karyawan baru untuk divisiku dan divisi Sita, serta draft MOU buat kerja sama dengan Jerman. Dan Sita belum datang.



Jakarta II

tetes keringat
tetes air mata
tetes hujan
tetes mani
tetes air got

Jakarta menetes

Jakarta hanya
kumpulan tetes

Pernah datang ke kawasan Jl. Sudirman dan Thamrin jam 9 pagi ?
Pernah terjebak kemacetan di Jl. Sudirman dan Thamrin jam 9 pagi ?
Kalau anda penduduk Jakarta, jawaban dua pertanyaan itu sudah pasti lebih panjang dari sepuluh kalimat, jawaban disertai dengan keluh kesah dan kesaksian. Jakarta dan kemacetan pagi harinya, terlebih hari Senin, adalah ritual rutin yang harus dilewati sebelum menuju ke hari lain. Sudirman dan Thamrin yang sepi tanpa kemacetan di Senin pagi hari, jauh lebih menakutkan dari film horor paling seram. Setiap orang pasti akan bertanya, ada apa di depan ?
Di mulai dari arah Semanggi, baik anda menuju ke Selatan atau Utara, laju kendaraan otomatis tidak akan lebih dari 10 km/jam. Antrian kendaraan, baik kendaraan umum serupa bis patas dan metro mini di sisi jalur lambat, kendaraan pribadi di jalur cepat maupun lambat, sepeda motor yang menyela-nyela di jalur lambat, maupun bahkan jalur khusus busway, yang banyak orang menyebutnya bus wae, penuh.
Sudirman dan Thamrin di hari Senin jam 9 pagi adalah show room kendaraan terpanjang di dunia.
Kendaraan dari tahun 80 an semacam metro mini dan bis kota, tahun 90 an seperti mobil-mobil kijang eksekutif muda yang baru belajar mengemudi (dan tentu saja sebagian dari mereka membawa ”penebeng” yang membayar), dan tentu saja mobil mewah dan super mewah tahun 2000 an para eksekutif dan top eksekutif dan para pejabat negara, semuanya berjalan pelan, melenggok-lenggok genit, seakan menawarkan diri untuk dijual.... Bayangkan saja, tidak hanya mobil sedan buatan Jepang kelas atas, tapi juga bahkan Jaguar dan Hummer, antri di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin.
Dan pernahkan anda melihat trotoar di sepanjang Sudirman-Thamrin di hari Senin jam 9 pagi ?
Aneka mode pakaian, mulai dari yang resmi, kasual, sampai pakaian seragam dinas dan tentu saja di antaranya pakaian kumal, tersebar di jalan-jalan. Dan yang lebih aneh lagi, di Jakarta yang lembab dan panas, yang bahkan di jam 9 pagi pun sudah terasa menyengat, aneka model dasi, jaket, blazer, dan bahkan jas yang seharusnya dipakai pada kondisi daerah yang lebih dingin dan mungkin sub tropis, dipakai dengan manis oleh pria dan wanita eksekutif muda di Jakarta, meski dengan keringat yang berleleran di sepanjang dahi sampai ke punggung.
Di sepanjang jembatan penyeberangan, antara Sudirman dan Thamrin, berjejal-jejal semua umur berjalan berdesakan. Aneka parfum, bercampur bau keringat, berdesakan keluar dari badan. Bahkan untuk menyeberang jalan melalui jematan penyeberangan pun orang Jakarta membutuhan perjuangan. Pelat besi yang sudah berlobang, bahkan hilang, tangga tanpa pegangan, dan rengekan serta jejalan pengemis di atas jembatan penyeberangan. Semua itu bercampur debu dan asap knalpot kendaraan, yang mengasapi para penyeberang jembatan penyeberangan seperti ikan bandeng di perapian.
Dan kalau Jl. Sudirman dan Thamrin kendaraan berjalan pelahan, berarti di jalan-jalan lain seluruh Jakarta, drama kemacetan dimulai. Jalan Gatot Subroto, S Parman, sampai ke arah Kota, drama kemacetan dimulai. Embel-embel peraturan 3 in 1 serasa hampir tidak ada manfaatnya. Orang Jakarta yang kreatif dan sangat biasa dengan perubahan peraturan, dengan gampang mengakalinya menjadi salah satu penghasilan tambahan.
Dan di Jakarta orang menjadi sangat terbiasa untuk menebalkan kuping, memutus urat malu, dan meneriakkan umpatan.
Bila umpatan, makian, dan gerutuan pengemudi dan seluruh penumpang kendaraan seluruh Jakarta bisa ditampung di bak sampah, pasti Pemda DKI akan jauh lebih sulit memusnahkan sumpah serapah yang pasti lebih menggunung dibandingkan sampah. Suhu udara Jakarta yang menyengat, bahkan pada jam 9 pagi seperti ini, mungkin lebih banyak disebabkan sumpah serapah penghuninya dibandingkan dengan yang didapat dari matahari.
Jam 9 pagi, kota tua ini tidak hanya sedang menggeliat, tapi bahkan sudah mulai berkipas kepanasan.
Aneka gedung pencakar langit dengan berbagai arsitektur, mulai gaya Yunani, Baroc, moderen, bahkan sampai postmoderen, dan gedung-gedung yang bagi sebagian orang masih imajiner, ada di Jakarta. Ibukota negara dengan arsitektur dan tata kota yang paling campur aduk di dunia. Pantulan cahaya matahari dari jendela, bahkan dinding kaca, diselingi dengan bayangan jangkung gedung raksasa, bergantian akan menutupi wajah pejalan kaki dan pengendara mobil.
Ibarat seorang gadis yang akan ke pesta, Jakarta telah memakai semua jenis parfum, keringat, dan kosmetiknya di saat yang bersamaan di seluruh tubuh.
Jakarta yang berlobang. Tidak percaya? Lobang di jalan maupun di trotoar tidak hanya ada di jalan-jalan di pinggiran kota, tetapi juga bahkan ada di jantung ibu kota, di Jl. Thamrin dan Jl. Sudirman. Lobang kalau hanya di jalan mungkin tidak begitu berbahaya. Lobang kalau hanya di trotoar dan di atas gorong-gorong mungkin segera bisa dilihat dan diperbaiki, walau beberapa kali sudah pernah makan korban pejalan kaki. Tapi bukan hanya itu. Moral orang Jakarta rata-rata sudah berlobang-lobang, seperti saringan.
Pemeo ”Mencari yang haram aja susah, apalagi yang halal”, marak dipraktekkan orang Jakarta. Bukan hanya yang di pinggir jalan, tetapi sampai di gedung-gedung mewah, bahkan di gedung yang paling terhormat, gedung DPR, gedung rakyat yang dibangun dengan uang rakyat.
Dan Jakarta di pagi hari jam 9 adalah Jakarta yang menggeliat, dengan baju bertambal-tambal aneka warna, dan dekil, dan mulai berbau asap knalpot.
Rif, Gedung GKBI Sudirman, 09.00-09.30
Akhirnya, bis kota Patas AC jurusan Kampung Rambutan-Kota berhenti di depan Gedung BRI II, sebelah Gedung GKBI, tujuanku. Dengan menuruti perintah kondektur, turun dengan kaki kiri lebih dulu, aku turun dari bis kota. Gedung yang sangat tinggi, pikirku sambil melangkah menuju Gedung GKBI. Selamanya aku belum pernah kerja di gedung bertingkat. Pekerjaan terakhirku dulu, 6 bulan yang lalu, hanya di kantor yang sebenarnya rumah tua, bertingkat 2.
Gedung tinggi bukan hanya melambangkan kemakmuran, tapi juga keangkuhan dan kekuasaan. Hmm, lantai 17, seperti apa rasanya kalau aku benar-benar diterima bekerja disini ya? Pasti di hari-hari pertama aku akan lebih banyak melihat keluar jendela, kelihatan tidak ya kontrakanku dari atas lantai 17? Dari lantai 17 aku bisa melempar pesawat kertas, atau bahkan meludahi orang-orang yang ada di bawah. Satu hal yang tidak akan bisa dilakukan kalau di gedung tidak bertingkat. Ketinggian memang memberi kekuasaan, dan keangkuhan.
Belum sampai masuk ke lobbinya saja aku sudah merasa terintimidasi. Bukan hanya melihat penampilan fisik gedung itu, yang sangat megah dan mewah, tetapi juga melihat penampilan orang-orang yang menuju gedung itu. Sangat rapi, berkelas, dan berbau harum. Aku lihat lagi ke bawah, ke celanaku, moga-moga saja tidak akan ada yang melihat lobang bekas abu rokok disitu. Dan baju putihku, percuma saja jerih payah Mbak Wati semalam. Bekas keringat dan kusut akibat himpitan orang-orang di bis tadi jelas kelihatan. Moga-moga saja bisa sedikit tertutup dengan dasi yang aku pakai nanti, pikirku.
Dasi? Dengan panik aku coba cari di map yang aku bawa. Ya Tuhan, aku lupa bawa dasi. Dasiku satu-satunya warna merah darah keunguan, hadiah dari Irina, rekan kerjaku di kantor terakhir, waktu aku ulang tahun ke 27 dulu. Matilah aku.
Dengan lemas aku menuju ke pintu detektor logam di lobby masuk gedung. Tidak ada yang berbunyi. Satu-satunya logam yang melekat di pakaianku adalah gesper kuningan, dan beberapa keping uang logam serta kunci rumah kontrakan di celana. Tidak ada handphone.
Dengan mengikuti gelombang orang-orang berpakaian rapi dan berbau harum di depanku, aku menuju lift. Lift yang aneh. Kalau tidak ada petunjuk yang jelas, yang memakai bahasa Inggris di depan masing-masing lift, aku pasti tidak akan bisa menemukan lantai 17 secara tepat. Aku masuk lift yang berkapasitas 15 orang itu, dan masuk ke tengah-tengahnya.
Dan entah kenapa, atau mungkin hanya perasaanku, 9 orang lain di lift itu, yang berpakaian sangat rapi dan berbau harum, menjaga jarak dari aku. Tapi biarlah, kalau aku yang berbaju rapi seperti mereka, mungkin aku juga akan tidak mau berdekatan dengan orang yang berbaju putih lusuh dan berbau keringat bercampur asap knalpot bis dan angkot.
Lantai 17 akhirnya. Dengan berbelok ke kanan, aku temukan logo perusahaan yang akan mewawancaraiku. Inilah kali pertama aku kesini, semoga bukan yang terakhir, pikirku. Dua tes sebelumnya, diadakan di biro rekrutmen karyawan di daerah Slipi. Dan waktu itu aku memakai dasi. Aku selalu memakai dasi kalau sedang mencari pekerjaan, dan sekarang dasiku ketinggalan.
”Mau ketemu siapa Pak?”, tanya satpam di depan resepsionis manis yang sedang menerima telepon.
Dengan segera, aku tunjukkan surat panggilan, yang ditandatangani Ir. Aditya Saputra, General manager Energi.
”Saya ada panggilan wawancara Pak pagi ini jam 10, dengan Ir. Aditya”, jawabku. ”Mungkin masih terlalu pagi Pak, jadi kalau boleh saya akan menunggu disini”
Dengan muka masih tetap dingin satpam itu kemudian menjelaskan kalau ruang duduk untuk tamu tidak ada, sesuatu yang menurut aku agak mustahil di kantor semegah ini. Artinya aku harus mencari tempat di dekat-dekat resepsionis ini untuk menunggu sampai jam 10.
Satu-satunya tempat adalah di tangga darurat. Sambil berjalan ke arah tangga darurat, aku lihat gantungan kunci kontrakanku, yang aku gantungin arloji tua merek casio, jam 09.15. Masih 45 menit lagi. Hariku bakalan panjang.
Dengan setengah menghembuskan nafas, aku duduk di dua tangga terakhir di tangga darurat dari lantai 18. Haus. Sangat haus, dan lapar. Aku belum sempat sarapan tadi, pikirku.
”Mau menunggu siapa Mas?”, pertanyaan dari arah atas kepalaku itu tiba-tiba mengejutan aku. Seorang pemuda, hampir seumuranku kira-kira, berpakaian seragam khas cleaning service. Akhirnya ada juga keramahan disini, pikirku.
Aku jelaskan kepentinganku ke kantor ini. Mencari pekerjaan, wawancara.
”Wah, memang susah ya Mas cari pekerjaan”, katanya. ”Saya saja baru 3 bulan ini kerja disini, cari-cari pekerjaan selama 6 bulan lebih di Jakarta. Habis saya tidak bisa lagi bertani Mas, sawah sudah tidak punya lagi”.
Dan dengan keramahan khas sesama kaum urban yang terpinggirkan,dia bercerita kalau sebetulnya dia lulusan STM dari Klaten. Sempat berdagang pakaian bekas di pasar dengan modal kecil-kecilan, akhirnya bangkrut gara-gara uang modal habis buat makan. Khas cerita kaum urban yang belum berhasil.
”Sudah sarapan Mas?” tiba-tiba saja Sutopo, nama cleaning service itu, bertanya padaku, dan aku jawab apa adanya.
”Sebentar ya Mas, saya ada perlu dulu”, katanya.
Aku pikir dia akan mengerjakan beberapa pekerjaan lainnya, walau sebelumnya dia tadi sempat menjelaskan kalau tugas untuk pagi itu sudah selesai. Agak lega juga aku, karena aku tidak begitu suka ditanya-tanya secara mendetail oleh orang yang belum aku kenal benar. Interview sebelum interview. Oleh cleaning service lagi. Tapi aku keliru.
5 menit kemudian, dia datang lagi dengan membawa baki, 2 gelas teh panas, dan 2 bungkus nasi uduk.
“Maaf Mas, kebetulan ini tadi saya beli nasi uduk. Saya juga belum sarapan. Moga-moga saja Mas mau sarapan bareng saya disini”, katanya dengan tulus.
Aku tahu, nasi uduk ini sebenarnya juga jatah sarapan pagi yang akan dimakannya sendiri, karena dari bungkusannya saja paling hanya beberapa suap. Tapi ketulusan kelihatan sekali dari sinar mata maupun senyumnya ketika menawarkan nasi uduknya ke aku.
Oh kaumku, betapa malunya aku. Aku yang sempat agak jengkel dengan pertanyaan-pertanyaannya, dengan gaya ndeso nya, walaupun aku juga orang desa. Tapi masih ada kejujuran dan ketulusan dalam memberi dari Sutopo, yang aku yakin sebenarnya keadaan keuangannya juga tidak lebih baik dari aku.
Siapa yang bisa bertahan di Jakarta dengan gaji dan posisi cleaning service, tapi masih bisa berbagi dengan orang yang baru dikenalnya?
Dengan sangat terharu, aku minum seteguk air teh hangatnya. Pahit. Dia tersenyum. Aku tersenyum berterima kasih. Kami satu kaum. Harus saling membantu.
Sita, Kelapa Gading, 09.00-09.30
Berkali-kali hp saya berbunyi. Nada-nada lagu dari grup band Samson itu berkali-kali berulang. Saya belum bisa meraih dan menjawabnya.
Kemudian ganti telepon apartemen Aditya yang berdering. Apalagi yang ini. Mungkin Adit, tapi mungkin juga orang lain, istrinya, temannya, saudaranya, atau malah orang tuanya.
Apa kira-kira pendapat istri Adit kalau saya yang kemudian menjawab telpon itu. Atau ayahnya. Atau ibunya.
Saya benar-benar sampah. Jiwa yang sakit dalam tubuh sexy yang hanya dapat memuaskan syahwat laki-laki.
Akhirnya saya mulai bisa duduk lagi, pelahan. Tapi jam-jam itu benar-benar berhenti. Ini bukan hanya karena sisa mabuk, ini kenyataan.
Dengan pelahan saya mulai bisa melangkah ke kamar mandi lagi. Kali ini showernya menyala.
Dengan mati-matian, saya semprotkan air ke seluruh tubuh saya. Saya kotor. Sangat kotor.
Dan bekas-bekas itu ada. Di sela payudara saya, di atas perut, dan gigitan Adit di pundak saya, yang tiba-tiba saja terasa perih.
Saya kotor. Hampir seluruh sabun cair dalam botol saya pakai untuk membasuh badan saya. Dan hampir seluruh shampo saya tuangkan ke atas kepala saya. Saya masih kotor. Sama sekali belum merasa bersih.
Bekas persetubuhan itu ternyata bukan hanya di badan. Jauh lebih dalam.
Saya gosok seluruh badan saya, sampai bekas-bekas kemerahan muncul hampir di seluruh kulit. Masih kotor. Noda ini tidak akan bisa dihapus.
Akhirnya dengan lemas, saya ambil salah satu handuk bersih di tumpukan handuk di kamar mandi. Saya keringkan seluruh badan saya. Perih-perih lecet akibat gosokan tangan saya sendiri hampir di sekujur tubuh, ditambah gigitan Adit di pundak saya, semakin perih.
Dengan gontai saya keluar dari kamar mandi dan duduk di pinggir tempat tidur. Saya harus secepatnya meninggalkan tempat ini. Tapi badan saya masih belum bisa diajak berkompromi. Kepala saya masih berdenyut, dan tubuh saya masih sangat lemas.
Dan sinyal hp, menandakan SMS masuk, tiba-tiba berbunyi. Saya ambil hp itu. Misscall dari Adit. Dan SMS dari Adit. Saya buka.
Sit, lo dimana? Gw telpon kok veronica? Pagi ini kita ada interview lho, dan siangnya ada meeting dengan direksi. Btw, terima kasih buat semalam.... Gw menikmati sekali, semoga lo juga....
Adit. Adit menikmatinya! Dia berterima kasih. Dia yang menyetubuhi saya. Saya hanya alat pemuas syahwatnya. Tak ubah pelacur di pinggir jalan!
Senista itukah saya?
Samar-samar terbayang persetubuhan kami semalam. Dan sentuhannya memang membuat saya melayang. Sempat. Dia tahu saya sudah bertahun-tahun tidak pernah disentuh laki-laki.
Dan lenguhan saya waktu mencapai puncak, dan teriakan Adit waktu mencapai puncak. Walau tanpa penetrasi, karena tadi malam itu walau kesadaran saya sangat berkabut, tapi sebagian akal sehat saya masih berjalan. Tidak saya ijinkan dia memasuki tubuh saya.
Tapi kami memang telah bersetubuh. Suka tidak suka, saya ikut menikmatnya. Tubuh dan kebutuhan badaniah saya ternyata tidak bisa mengikuti perintah akal dan moral saya.
Adit memanfaatkan keadaan saya. Kurang ajar....
Kemarahan dan penyesalan memberi saya kekuatan. Segera saya pencet nomor hp Adit, tapi tidak. Apa yang akan bisa saya katakan. Dia tahu saya juga menikmatinya.
Apa yang bisa saya katakan ke Adit, hubungan kami tidak akan pernah sama lagi. Kami pernah bersetubuh. Dan itu akan merubah segalanya. Dan ini bukan hanya salah dia. Saya yang lemah.
Dengan pelahan, saya pakai lagi seluruh pakaian saya. BH, celana dalam, yang semuanya berenda hitam setengah transparan, ini yang tadi malam mungkin telah memicu gairah Adit, yang setahu saya termasuk lelaki baik dan alim di kantor, kemudian celana jin biru stretch yang sangat ketat, dan kaos tank top merah maroon.
Saya lihat sekilas bayangan saya di cermin.
Pakaian saya memang sangat mengundang. Sayalah yang mengundang Adit, dan mungkin banyak lelaki lain untuk memandang penuh nafsu. Saya, Sita, General manager perusahaan besar, ternyata berpakaian tak ubah wanita gampangan. Dan memang terbukti ternyata saya wanita gampangan. Dengan gampang memasuki apartemen lelaki lain di tengah malam, dan membuka baju dengan suka rela, dan bersetubuh.
Dan itu dengan alasan yang sangat klise. Stress memikirkan kehidupan berumah tangga, dan kemudian mabuk di cafe. Sendirian lagi.
Terbayang percakapan terakhir dengan mantan suami saya, yang meminta maaf dan meminta ijin untuk ketemu dengan Latifa dan Zsa Zsa. Lelaki itu, lelaki pengkhianat yang meninggalkan anak istrinya demi seorang sekertaris genit di kantornya. Dan dia tidak pernah menghubungi saya maupun anak-anak selama 2 tahun terakhir, tiba-tiba minta ijin untuk ketemu dengan 2 anak saya.
Rasa muak ingin muntah bercampur sesak napas tiba-tiba datang lagi....
Dengan perlahan, saya coba buka pintu apartemen yang mengarah ke balkon. Saya butuh udara segar.
Dan saya lihat, ternyata apartemen Adit ada di lantai yang cukup tinggi, 3 lantai sebelum puncak apartemen yang ada penthousenya. Di bawah, terlihat antrian kendaraan yang keluar dari apartemen dan kemacetan jalan raya.
Tiba-tiba saja pikiran saya kosong. Kosong.
Putih semua, tidak ada lagi ingatan yang aneh-aneh...
Ada keinginan baru yang mendadak timbul. Saya ingin terbang.
Saya pasti akan bisa terbang, melompat dari apartemen ini. Saya mungkin akan mati. Tapi saya yakin, melompat. Dan segalanya akan selesai.
Dengan melompat, semua beban saya akan hilang.
Saya akan suci lagi. Segala kotoran saya akan lenyap. Saya akan bersatu dengan udara, dengan burung, dengan kupu-kupu, bahkan mungkin dengan malaikat.
Saya akan bebas. Seperti kupu-kupu, seperti burung.
Dan keinginan itu semakin kuat.
Dengan agak terhuyung saya pegang bibir tembok pembatas balkon. Saya lihat lagi ke bawah . Dorongan itu semakin kuat.
Melompat, dan semuanya akan selesai.
Tidak ada lagi kekotoran, kenistaan, dan nafsu yang sulit dikendalikan.
Melompat.


Aditya, Gedung GKBI Sudirman, 09.45-10.00

Selesai akhirnya meeting pagi dengan direksi operasi hari ini. Draft MOU dengan pihak Jerman akhirnya disetujui, walau dengan sedikit ngotot. Meeting yang seharusnya diikuti juga oleh Sita. Kemana dia? Aku mulai kuatir.
Terbayang percintaan kami tadi malam. Masih sangat terasa kepuasan yang aku dapat tadi malam. Percintaan pertama selain dengan istriku. Wanita pertama selain istriku yang aku ajak bercinta di atas tempat tidur. Sangat memuaskan ternyata.
Inikah yang namanya perselingkuhan itu? Sangat berbeda dengan rutinitas suami-istri yang kami lakukan. Walau saling terpisah, tapi adegan-adegan yang aku dan istriku lakukan sangat bisa ditebak, urutannya sudah pasti. Berbeda dengan semalam. Sangat berkesan. Mungkin karena inilah banyak orang yang melakukannya.
Kalau tahu seperti ini rasanya, seharusnya aku lakukan dari dulu, pikiran nakalku tiba-tiba timbul. Tapi ini mungkin karena Sita. Kalau dengan Nayla gimana ya? Tiba-tiba pikiran-pikiran itu timbul.
Nayla? Dia tidak kalah cantik dan sexy dari Sita. Kalau Sita kematangan, kepandaian, dan percaya dirinya yang kuat terpancar dari setiap pori-pori tubuhnya, sehingga menjadi nilai lebih kecantikan alaminya.
Nayla lain. Keceriaan, kemanjaan, dan juga kecerdasannya menjadi ciri khas kecantikan khas Sunda-Betawinya. Kalau istriku? Aku tidak mau membandingkannya dengan mereka.
Tiba-tiba saja aku ingat.
”Nayla, tolong bawakan hasil tes IQ dan psikologi calon karyawan kita”, kataku melalui telepon ke mejanya.
Tidak sampai 3 menit, dengan senyumnya yang khas, Nayla membawakan berkas-berkas yang aku minta.
”Ini boss, berkas yang diminta”, katanya sambil mengangsurkan map, aku terima, dan jari-jarinya disentuhkan kejariku yang menerima map dari tangannya. Dan dia mengerling.
Sengaja atau tidak? Apa maksudnya? Dia tahu aku atasannya, sudah menikah, dan sebenarnya bukan termasuk kategori lelaki ganteng dipandang dari sudut mana pun. Badanku memang tegap, tinggi 175 cm, berat 80 kg, kulit kuning kecoklatan, tapi aku bukan termasuk lelaki ganteng, malah di beberapa bagian rambutku sudah mulai menipis. Banyak wanita memang menganggap aku lelaki yang menarik, tapi bukan semata-mata karena fisik. Mungkin Nayla salah satunya, atau dia tertarik denganku gara-gara aku atasan langsungnya
”Kok pakai pegang-pegang jari segala sih Nay? Kalau pengen, pegang aja semua nih”, kataku sambil mengangsurkan tangan. ”Atau mau pegang yang laen?”, tanyaku nakal.
”Ih Mas Adit, ngaceng aja kok”, katanya genit melafalkan nggak sengaja menjadi ”ngaceng aja”.
”Ya udah, cengaja juga ga papa kok”, kataku. ”Nanti siang mau ya ikut lunch, aku ada janji nih sama orang-orang pemerintah, jam 12.30 di Hotel Sahid”.
”Okay Boss, siap”, katanya sambil berjalan keluar. Dan tangannya, masih sempat-sempatnya menyenggol seolah secara tidak sengaja kebahuku. Andai dia Sita....
Sita, aku langsung teringat lagi, aku telpon hp maupun nomor apartemenku. Tidak ada yang mengangkat.
Penasaran, aku telpon nomor rumah Sita yang aku ingat di luar kepala. Daerah kelas menengah di Jakarta Timur. Diangkat oleh pembantunya, yang menjelaskan kalau Sita mulai malam tadi tidak pulang maupun telpon ke rumah. Malah pembantu-pembantu di rumah Sita mulai kebingungan.
Aku lihat jam, jam 10.00. Aku harus menepati jadwal yang aku buat sendiri, dengan atau tanpa Sita. Interview calon karyawan baru untuk didivisiku.


Rif, Gedung GKBI Sudirman, 09.50-10.15

10 menit lagi paling tidak, aku bakal diinterview. Aku pamit ke Sutopo untuk ke resepsionis, yang mengatakan akan mendoakan aku agar diterima. Sangat cukup untukku. Doa dari sesama orang kecil yang baik hati seperti Sutopo ini, ditambah energi yang secara langsung telah diberikan kepadaku, melalui sebungkus nasi uduk, segelas teh pahit, dan senyumnya, membuat kepercayaan diriku menguat.
Tanpa dasi dan dengan baju yang sudah berlipat-lipat dan berkeringat seperti ini pun aku siap.
Segera aku menuju ke resepsionis untuk mengatakan lagi kalau aku sudah datang dan siap untuk diinterview. Kali ini resepsionis itu sendirian, tanpa satpam berwajah dingin tadi.
”Bagaimana Mbak, saya harus menunggu dimana untuk dipanggil?”, tanyaku.
”Bapak Pak Arif ya, sebenarnya pelamar-pelamar yang lain sudah dari tadi juga datang, menunggu di ruang meeting 1”, jawabnya.
”Lho, kok tadi katanya tidak ada ruang untuk menunggu, kata pak satpam yang tadi?”
”Ada kok, mungkin pak satpam tadi kurang mengerti, maaf saya tadi sedang menerima telephon”
”Sekarang, mohon masuk, terus belok ke kiri, pintu ke dua dari belokan Pak”, kata resepsionis itu.
Yah, beginilah. Satpam tadi mestinya juga orang kecil semacam Sutopo dan aku, tapi sangat berbeda. Arogansinya sangat kelihatan. Tapi memang beginilah orang Jakarta. Untung saja masih ada orang semacam Sutopo.
Ketika aku akhirnya masuk, ada 3 orang lagi pelamar yang sudah duduk di ruang meeting 1, berpakaian rapi, dan masing-masing berdasi, kecuali satu orang wanita yang memakai blazer. Dan masing-masing di depannya ada secangkir kopi creamer dan satu kotak kue.
Tapi tidak ada bungkusan nasi uduk. Aku yakin, kalau tadi aku duduk dan masuk di ruang meeting ini, aku tidak bakal punya kesempatan untuk merasakan sarapan terlezat selama aku di Jakarta. Sebungkus kecil nasi uduk dan segelas teh pahit hangat, disertai ketulusan.
Dari 3 orang yang ada di ruang meeting ini, 2 orang sudah aku kenal, karena kami sempat tes bareng di Slipi. Yang satu lagi, yang wanita, aku belum kenal. Rata-rata mereka lebih muda 2-3 tahun dari aku.
Dan kami kemudian saling berharap cemas. Saling melihat.
Aditya, Gedung GKBI Sudirman, 10.00-10.30
Jam 10.00. Aku segera menuju ke ruang meeting kecil. Di kantor kami ini ada 5 ruang meeting, belum termasuk ruangan direksi yang juga ada meja meetingnya. Ruang meeting kecil hanya dua pintu dari ruanganku, di sebelah ruangan Sita.
Sekalian berjalan kesana, aku tanyakan Sita ke sekertaris dan anak buahnya. Dia belum datang. Tidak ada telepon sama sekali, juga SMS. Ah, paling juga dia masih mabuk gara-gara semalam, pikirku. Dua kali mabuk, mabuk minuman dan mabuk gara-gara percintaan kami semalam.
Aku merasa sangat gembira. Akhirnya salah satu obsesiku kesampaian, bercinta dengan Sita.
”Masuk ruang meeting kok langsung senyum-senyum, mana Sita, kok belum datang?”, tanya Bang Paladen tiba-tiba.
”Iya tuh, aku juga lagi nunggu dari tadi. Sudah aku telepon, SMS, ga ada jawaban. Kena macet kali Bang, maklum, Senin”, jawabku.
“Apa pula itu, rumahku yang di Bekasi saja sudah dari jam 8 tadi aku masuk kantor. Memang semakin lama, semakin besar kepala saja tuh si Sita, mentang-mentang yang paling dipercaya direksi”, jawab Bang Paladen sewot.
“Sabarlah Bang, udah kita mulai saja tanpa dia”, jawabku. Bagaimana pun juga, dari dulu aku tidak pernah rela kalau ada orang yang berbicara negatif tentang Sita, mulai dari statusnya yang janda, kekeraskepalaannya, kecermelangannya yang selalu dipandang sebelah mata, dan terutama sifat-sifatnya yang straight to the point. Lebih Batak dari orang Batak, kalau menurut istilah Bang Paladen, meski disampaikan dengan nada lemah lembut.
Akhirnya, pelamar pertama kami undang.
Djatmiko. Seperti dugaanku, orang Jawa, lulusan ITB teknik industri. Sebenarnya untuk lulusan teknik industri ini adalah calon karyawan buat divisi Sita. Tapi apa boleh buat, toh masih ada wawancara terakhir nanti kalau dia lolos dari screening kami kali ini.
Seperti aku duga, dari CVnya, tidak ada kejutan-kejutan dalam wawancara dengan si Djatmiko ini. Anak cerdas, lulus dengan cum laude 3 tahun lalu dari ITB, sekarang sudah bekerja di Astra, dan kepingin untuk penghasilan yang lebih besar dan peluang karir yang lebih baik di masa depan.
Sesuai dengan hasil tes psikologinya juga, tipe-tipe pekerja, yang mungkin bisa bertahan 3-4 tahun di kantor kami ini kalau tidak ada peluang lagi di tempat lain. Tipikal hampir 60% dari karyawan kantor kami. Pandai, bermotivasi karir, tapi dari wawancara yang aku lakukan, hanya sedikit memiliki imajinasi. Cukup layak untuk dipertimbangkan menurutku walau mungkin nanti bukan untuk posisi yang banyak membutuhkan kreativitas dan imajinasi.
Setelah kurang lebih setengah jam, kami mempersilakan dia untuk keluar dan sekalian memanggil calon karyawan berikutnya. Arif Ananta Situmorang.


Rif, Gedung GKBI Sudirman, 10.30-10.35

Akhirnya aku dipanggil ke ruang interview. Dengan pelahan aku buka pintu ruang tersebut. Ada 2 orang pria disana, satu orang agak gemuk, yang dari wajahnya aku tahu langsung berasal dari Sumatera Utara, satu lagi tinggi besar, mungkin setinggi aku, tapi dengan tubuh yang tegap hampir dua kali lipat tubuhku, dengan wajah yang aku tidak tahu dari mana asalnya. Mungkin orang Jawa juga, dengan umur yang susah untuk diperkirakan.
”Selamat pagi Pak, Assalamualaikum”, sapaku sambil menarik kursi.
”Selamat pagi juga”, jawab pria yang gemuk.
”Wa alaikum salam”, jawab si kekar.
”Perkenalkan Pak, saya Arif, lengkapnya Arif Ananta Situmorang”, kataku sambil mengulurkan tangan.
”Paladen”, jawab si gemuk singkat sambil menjabat tanganku.
”Aditya, saya yang mengirim surat panggilan itu”, jawab si kekar.
Dari penampilan 2 orang pria ini, terus terang aku merasa sedikit terintimidasi oleh Pak Aditya. Berbeda dengan Pak Paladen, yang aku langsung tahu kira-kira seperti apa orangnya, tapi wajah Pak Aditya sangat susah ditebak. Wajah ramah, tapi dengan tatapan mata yang tajam dan jabatan tangan yang kuat. Dan tidak ada ekspresi di mata itu.
”Anda lulus tahun berapa dari Universitas Brawijaya?”, tanya Pak Aditya tiba-tiba.
Pertanyaan yang sebenarnya hanya penegasan pikirku. ”Tahun 2000 pak”, jawabku.
”Selama lima tahun ini, anda sudah bekerja di berapa perusahaan?”, lagi-lagi Pak Aditya bertanya.
Pertanyaan ini yang membutuhkan jawaban yang panjang.


Aditya, Gedung GKBI Sudirman, 10.30-10.35

Orang kedua yang aku interview pagi ini si Arif. Dari gaya berjalannya ketika masuk ke ruangan, sapaannya yang mendului sapaanku, sampai pada jabatan tangannya, menandakan kalau calon yang aku hadapi kali ini cukup cerdas, dan lebih lagi veteran dalam interview.
Hm, lulusan Universitas Brawijaya 5 tahun lalu. Dengan pengalamannya, setidak-tidaknya kalau dia bekerja tanpa berpindah-pindah, minimal manajer muda kalau karirnya lancar.
Yang harus aku ketahui, terutama adalah kenapa dia beberapa kali pindah-pindah pekerjaan, sampai sekarang boleh dikata menganggur. Dari hasil tesnya sih, si Arif ini jauh di atas rata-rata pelamar yang lain dengan nilai lebih yang lain untuk kreativitas dan imajinasi. Untuk perusahaan konsultan internasional semacam perusahaanku ini, imajinasi dan kreativitas adalah nilai tambah yang sangat bagus.
Dan waktu aku tanyakan kepadanya tentang hal itu, tiba-tiba saja dia seperti kelihatan merenung.
“Jadi kenapa kau suka pindah-pindah kerja?”, tiba-tiba saja Bang Paladen menegaskan pertanyaanku sebelumnya.
“Dan dari mana pulak nama Situmorang asal Pasuruan?”, lanjut Bang Paladen.
Rif, Gedung GKBI Sudirman, 10.35-10.39
Pertanyaan yang selalu harus panjang lebar aku jawab. Haruskah aku bercerita keadaan sebenarnya, atau malah berbohong?
Pertama kali aku tiba di Jakarta, tahun 2000, karena aku dipanggil sebuah perusahaan makanan yang berkantor pusat di Jakarta dengan pabrik di Tangerang dan Kebon Jeruk. Aku ditempatkan di pabrik di daerah Kebon Jeruk. Sebagai enjiner di bagian maintenance, karirku disini tidak bertahan lama. Hanya 7 bulan. Itu karena yang pertama aku memang merasa tidak cocok jadi pekerja pabrik, walau statusnya enjiner. Dan yang kedua, penyakitku mulai timbul disini.
Hampir tiap bulan aku ditemukan pingsan di sebelah mesin produksi. Pertama kali, aku sendiri tidak tahu kalau aku pingsan. Rasanya tiba-tiba hanya tabir hijau menutup mataku. Dokter pabrik sampai dokter spesialis tidak pernah bisa menemukan sebab sakitku. Hanya ada satu cara, keluar. Terlalu berbahaya kalau tiba-tiba aku pingsan di tempat pekerjaan di pabrik. Walau sebenarnya aku bukannya tanpa prestasi selama kerja 7 bulan. Sistem shift karyawan yang lebih baik dan jadwal pemeliharaan yang jelas adalah salah satu hasil pekerjaanku yang bahkan mereka gunakan sampai sekarang.
Mereka sebenarnya minta aku untuk pindah dibagian enjinering yang relatif tidak membutuhkan banyak waktu untuk pekerjaan lapangan di pabrik. Mengerjakan tugas di balik sebuah komputer dan scanner. Tapi aku sendiri sudah terlanjur tidak betah dan kebetulan juga salah satu interviewku berhasil, aku diterima di perusahaan lain.
Tempat kerjaku yang kedua, sebuah perusahaan kontraktor alat-alat berat. Disinilah aku bertemu dengan Ismail. Walau kemudian aku beberapa kali juga pernah pingsan di tempat kerja, aku bertahan cukup lama disini, hampir dua tahun, sebelum akhirnya perusahaan tersebut tutup karena bangkrut.
Tempat kerjaku yang ketiga, sebuah perusahaan trading, yang bergerak di bidang gas engine, sebagai sales enjiner. Disini aku hanya bertahan 3 bulan, gara-gara 2 kali pingsan di tempat calon klien, yang rata-rata industri besar.
Tempat kerjaku yang keempat, sebuah perusahaan konsultan energi. Walau memang aku amat kerasan dan tidak pernah pingsan sama sekali di tempat kerja, aku di perusahaan tersebut hanya kerja selama 9 bulan. Ya, karena statusku hanya sebagai karyawan yang dikontrak selama proyek, alias karyawan kontrak.
Setelah itu pula berganti-ganti perusahaan yang aku masuki. Rata-rata hanya bertahan kurang dari 6 bulan. Mulai kontraktor, perusahaan peralatan rumah tangga, sampai sebagai sales asuransi. Sampai akhirnya, mulai 3 bulan yang lalu aku benar-benar menganggur. Tabunganku yang hanya sedikit itu pun lama-lama habis juga, buat makan dan dikirim ke Pasuruan. Ke orang tua yang sudah pensiun dan 2 adik yang masih kuliah dan SMA. Biarlah mereka masih mengira kalau aku kerja di perusahaan yang bergengsi dengan gaji yang cukup. Beban mereka sudah cukup berat tanpa harus memikirkan masalahku.
Dan pertanyaan yang sama, pernah kujawab dengan jujur waktu tes wawancara di sebuah perusahaan minuman kemasan 2 minggu lalu. Hasil akhirnya jelas, aku tidak diterima dengan alasan kesehatan yang meragukan, biar secara resmi aku belum pernah dites kesehatan di perusahaan itu waktu melamar.
Karena aku masih berpikir kan menjawab bagaimana, sorotan mata keraguan, terutama dari Pak Aditya, kurasakan. Haruskah aku berbohong?
Waktu aku tes wawancara dengan 3 perusahaan terakhir sebelumnya, aku berbohong, dan aku diterima kerja. Pada waktu aku jujur, aku tidak diterima kerja.
Tiba-tiba saja, entah kenapa, bayangan percakapanku tadi dengan Sutopo teringat.
Kata Sutopo,”Kita ini sama-sama orang miskin ya Mas, tapi asal kita jujur, Insya Allah akan selalu tetap bahagia”.
Hanya kata-kata itu yang teringat. Dan akhirnya aku menjawab jujur dan aku ceritakan semua pengalamanku pada Pak Paladen maupun Pak Aditya, dengan segala konsekuensinya. Biarlah sekali ini aku tidak diterima, asal aku bisa berusaha jujur, pikirku.
Dan mereka, seperti aku duga, mengerenyitkan kening waktu aku bercerita dengan panjang lebar pengalaman kerjaku setelah lulus kuliah.
Aditya, Gedung GKBI Sudirman, 10.39-11.00
Orang yang jujur si Arif ini pikirku. Dan sepertinya Bang Paladen juga berpendapat yang sama, dilihat dari tanggapannya pada cerita pengalaman kerja si Arif. Penyakit, sebagai kelemahan pribadinya, diceritakan secara gamblang dan apa adanya, walau karena itu aku mungkin tidak akan bisa menerimanya.
Yang menjadi masalah, orang yang jujur memang kita perlukan disini, sangat malah. Tapi suatu waktu, kejujuran itu juga akan dihadapkan pada nilai-nilai bisnis, yang mau tidak mau kami harus melakukan upaya upeti, komitmen pembagian profit proyek dengan pemberi proyek, bahkan upaya-upaya, yang jaman dulu disebut sebagai sogokan, dan kalau sekarang disebut sebagai kolusi bagi hasil, hampir di semua pekerjaan. Baik swasta, BUMN, dan apalagi pemerintah.
Satu sistem yang sangat sulit dan hampir mustahil diberantas. Sudah berurat berakar dan mendarah daging.
“Buku apa yang terakhir anda baca?”, tanyaku tiba-tiba setelah dia menyelesaikan cerita panjangnya. Satu pertanyaan favoritku. Dari buku yang dia baca, sedikit banyak aku akan tahu seperti apa kepribadian dan tingkat pengetahuan dari para pelamar.
“Maaf Pak, kalau buku memang sudah 3 bulan ini saya hampir tidak membaca, karena memang untuk mengirit pengeluaran, saya tidak membeli buku”, jawabnya jujur.
“Terakhir-terakhir ini paling saya hanya membeli atau pinjam koran Kompas atau Media Indonesia, buat cari-cari pekerjaan”
“Tapi waktu saya masih bekerja dulu, saya memang sempat mengoleksi buku dari karangan beberapa pengarang”, jawabnya,”Terutama saya suka sekali buku-bukunya Paulo Couelho, Milan Kundera, sama Alexander Dumas”
Mau tidak mau, Bang Paladen dan aku tersenyum mendengar jawaban itu. Betapa tidak, pengarang-pengarang yang disebutkan itu, Bang Paladen tahu persis kalau juga pengarang favoritku. Sebagian buku-buku itu ada di lemari di ruang kerjaku karena yang di apartemen sudah tidak sanggup menampung.
”Wah-wah, kau ini orang berdarah Batak yang suka sastra rupanya. Tak kalah lah sama Iwan Simatupang atau Mochtar Lubis”, kata Bang Paladen.
”Tapi yang kami butuhkan disini enjiner yang siap pakai, pengalaman di bidang pembangkit”, sambungnya lagi.
”Coba anda jelaskan pada kami, bagaimana kira-kira pengalaman yang anda miliki selama ini bisa menunjang lowongan pekerjaan sebagai enjiner disini!”, kataku.
Dan rupanya tidak salah dugaanku, pengetahuan si Arif ini mulai dari enjiner pabrik, kontraktor, sampai konsultan, cukup luas dan menunjang posisi yang aku butuhkan. Kecuali cerita awalnya. Pengalamannya yang dengan jujur diceritakan, malah menjadi nilai minus yang sangat besar. Siapa pun tidak akan pernah bisa mentolerir kalau anak buahnya sering pingsan tanpa sebab yang jelas.
Tapi paling tidak dia sudah berusaha jujur pikirku.
Hmm, bisa dilanjutkan apa tidak ya proses penerimaan ini, pikirku, dan sepertinya Bang Paladen berpikiran yang sama dengan aku.



Rif, Gedung GKBI Sudirman, 11.05-11.15

Selesai. Ya, interview yang persiapannya dan aku tunggu selama berhari-hari, akhirnya selesai. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan kerja di perusahaan ini, pikirku. Tapi paling tidak aku berusaha jujur selama interview, tanpa ada yang aku tutupi.
Dari kalimat terakhir Pak Aditya tadi, yang berkata dengan setengah ragu kalau dia akan menghubungiku seandainya ada hasil yang pasti, aku tahu aku tidak diterima.
Terlalu sering aku melihat kebohongan, dan Pak Aditya tadi adalah salah satu pembohong terburuk yang pernah aku temui. Berarti statusku sebagai pengangguran, dengan kekayaan bersih Rp. 275.000 setelah dikurangi hutang di warung mPok Jum, berlanjut.
Kalau mujur, aku masih bisa bertahan 10 hari lagi hidup sebagai orang jujur di Jakarta, mungkin 15 hari lagi kalau pakaian dan beberapa bukuku bisa kujual dan uang kontrakan belum akan ditagih.
Dengan gontai aku keluar, biarlah tak usah kutemui lagi Sutopo yang aku tahu pasti akan ikut kecewa.
Dengan uang tinggal 17 ribu rupiah di saku, tak ada lagi yang bisa kuperbuat disini. Aku bisa memperkirakan harga minuman di kantinnya saja lebih mahal daripada seluruh uang yang kubawa.
Ismail. Tiba-tiba saja nama itu teringat. Ya, Ismail mungkin bisa menolongku.
Dengan langkah yang mulai tegap, aku masuk ke dalam lift. Nomor hp si Ismail masih ada di kantong celanaku. Berarti hal pertama yang harus aku lakukan adalah menelepon dia. Wartel. Tapi mana ada wartel di Jalan Sudirman?
Sita, Kelapa Gading, 09.30-10.30
Waktu rasanya berhenti. Damai. Hembusan angin dari arah selatan mengibar-ngibarkan rambut saya yang sebahu.
Rasanya semua menyatu. Saya rasakan lagi. Mulai bisa saya dengar musik indah dari arah bawah sana. Musik yang belum pernah saya dengarkan seumur hidup. Begitu indah, rasanya menarik saya pergi. Mengajak saya menari, sambil terbang.
Saya akan melompat, saya akan terbang.
Dan burung-burung, alangkah banyaknya, tiba-tiba bersliweran di atas kepala saya. Dan apa itu di bawah, kabut biru kehijauan yang bergerak-gerak. Kupu-kupu. Ribuan jumlahnya. Mungkin puluhan ribu. Padahal setahu saya di Jakarta, belum pernah sekali pun saya bisa menemukan kupu-kupu. Tapi ini ada ribuan, menari-nari.
Saya akan menyatu dengan mereka. Saya akan terbang. Ke awan. Kembali suci seperti kemarin. Wanita baik-baik. Pasti juga akan bisa menjadi bidadari yang baik.
Antara sadar dan tidak, saya masih bisa mendengarkan beberapa kali hp saya berbunyi, dan telepon di atas meja. Saya tutup kedua telinga saya. Suara-suara telepon itu lenyap, tapi suara musik indah itu bertambah kuat.
Saya buka lagi tangan dari telinga saya. Suara-suara telepon itu lenyap. Suara musik itu semakin mengajak saya mengikutinya.
Dengan pelahan, saya mulai memanjat tembok balkon. Saya coba berdiri, bisa. Saya rentangkan kedua tangan saya. Saya siap terbang. Saya siap bersatu dengan alam, dengan awan, dengan burung, dengan kupu-kupu, dan dengan musik indah itu…
Bebas…
Aditya, Gedung GKBI Sudirman, 12.00-12.20
Akhirnya semua interview selesai. Total 4 kandidat. Sebenarnya, termasuk yang besok, semua ada 8 orang calon karyawan. Seperti yang kuduga, secara pengalaman dan pengetahuan, Arif yang paling baik. Tapi dari kejujurannya tadi bercerita tentang penyakitnya, yang menurutku semacam epilepsi ringan, sangat susah untuk bisa menerimanya. Sayang.
Dan Sita sampai sekarang masih belum bisa dihubungi siapa pun.
Kalau aku tidak ada janji lain dengan klien, pasti aku coba buat pulang ke apartemen sebentar atau ke rumah Sita, paling ga aku bisa tahu keadaannya secara persis. Bagaimana pun juga, dia ada di apartemenku, aku yang paling bertanggung jawab kalau ada apa-apa.
Tiba-tiba saja hp ku bergetar. Sita, pikirku. Tapi bukan, nomor hp istriku yang muncul di monitor.
“Halo mas, lagi istirahatkan, bisa ngobrol bentar ga?”, tanyanya. Ada apa lagi, pikirku. Terakhir dia bicara dengan nada seperti ini waktu memberitahu kalau dia harus pindah tugas ke Surabaya. Apa mungkin kali ini lebih jauh?
“Ada apa Pit, tumben telpon siang-siang, katanya penghematan”, jawabku. Aku tahu, dia selalu tidak pernah mau menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, termasuk telepon suaminya sendiri, lain dengan aku.
Istriku namanya Fitri. Fitri Sulistyowati, biasa dipanggil Pipit, seorang kepala cabang dari BUMN yang bergerak di bidang survey dan kualitas mutu. Kepala cabang yang termuda, dan satu-satunya yang wanita.
”Sebenarnya, aku lagi ditawari posisi baru”, nah kan, ”Dan itu ada di Taiwan, jadi kepala perwakilan disana”, jawabnya.
”Aku sudah mengambil keputusan, dan aku menerimanya”, terusnya.
Sekali lagi, dia mengambil keputusan tanpa melalui pertimbanganku, suaminya.
Dengan menahan emosi, aku bertanya,”Artinya, kapan kamu harus berangkat ke Taiwan Pit?”
”Dua minggu lagi paling lambat, tapi karena disini masih banyak yang perlu disiapkan, paling cepat seminggu lagi aku baru bisa ke Jakarta, sekalian mengurus surat-surat yang kuperlukan”, jawabnya seakan pura-pura tidak tahu kalau aku emosi. Dan ini sekedar pemberitahuan, bukan minta ijin atau apalagi minta pertimbangan.
Dengan kesal, langsung aku matikan hpku.
Sita, Kelapa Gading, 10.30-10.35
Bebas…
Rentangan tangan saya sudah siap. Menjadi sayap.
Suara musik semakin kuat, menarik saya, ke bawah, ke atas, terbang.
”Mother how are you today.....”
Kok? Tiba-tiba lagu lain menyeruak....
Ini bukan suara musik yang tadi…
”Here is a note from your….”
Sayup-sayup lagu itu saya dengar lagi. Dari arah belakang saya. Tapi, suara musik yang sangat indah itu, semakin kuat menarik saya.
”With me everything is okay”
Lagu itu mulai keras.
“Mother how are you today…..”
Lagu itu sangat saya kenal.
Suara musik dari bawah, dari atas, dari samping, mulai menarik saya lagi.
“Mother don’t worry I’m fine…..”
Lagu itu. Irama itu, sangat khas. Ingatan saya mulai timbul. Itu suara hp saya. Itu nada dering khusus dari hp Tifa, Latifa, anak saya…
Itu Latifa, mencari saya, bundanya, ibunya…
Suara hp dan suara musik yang menarik saya mulai bertarung. Di kepala saya. Musik indah itu. Suara hp itu…
Saling bertarung. Tarik menarik.
“This time there will be no delay”
Suara hp yang akhirnya memenuhi kepala saya. Suara musik indah itu pelahan lenyap. Suara hp juga mulai hilang. Mulai terdengar suara lalu lintas dari bawah. Berisik. Dan suara-suara teriakan.
“Hey, hati-hati”
“Mbak, sadar Mbak, jangan bunuh diri…”
Dimana saya?
Saya sedang berdiri di atas balkon apartemen Aditya. Di atas tembok balkon. Berdiri, merentangkan dua tangan.
Tidak ada burung. Tidak ada kupu-kupu. Suara musik yang paling indah itu pun lenyap. Tidak ada lagi mega-mega berwarna pelangi. Hanya ada pemandangan kesemrawutan jalanan Kelapa Gading di bawah sana, kolam renang, dan halaman parkir apartemen.
Kesadaran saya mulai timbul.
”Mother how are you today.....”
Suara hp itu mulai lagi terdengar. Latifa, atau Zsa Zsa, mencari saya, ibunya.
Dengan gemetar, saya mulai berjongkok. Tiupan angin, yang tadi mengkibar-kibarkan rambut saya, tiba-tiba berhenti. Berganti suara-suara kelegaan, dan lalu lintas di bawah sana.
“Nah gitu Mbak, sadar, jangan bunuh diri”
Teriakan dari apartemen seberang. Dan ternyata ada beberapa orang, mungkin beberapa puluh orang, atau bahkan beratus orang, yang melihat saya. Mungkin mereka ingin mencegah saya melompat, terbang.
Apa yang akan saya lakukan tadi?
Tuhan, untung saja semua belum terjadi.
Dan saya mulai berhasil, dengan gemetar yang sangat hebat, turun dari tembok balkon.
Berdiri, dengan gemetar, di lantai balkon. Kemudian jatuh terduduk. Dan menangis.
Tiba-tiba saja air mata saya mengucur, deras.
Tifa, Zsa Zsa, maafkan bunda nak.


Jakarta III

mimpiku
dan mimpinya
hanyut
di hitam
air got Jakarta

entah kemana

Jakarta di tengah hari seperti raksasa mabuk tuak yang terengah-engah kepanasan. Dari jalan raya paling utama sampai gang-gang sempit di sela comberan, Jakarta tengah hari adalah raksasa limbung telanjang yang disorot lampu panggung 100.000 Watt. Demikian jelas kejelekan dan carut-marutnya
Inilah Jakarta, kemacetan ada dimana-mana. Jam makan siang pagi para pekerja kantoran adalah jam rejeki bagi pedagang pinggir jalan. Aneka makanan ditawarkan, juga perlengkapan harian, mulai palu sampai pakaian dalam. Berbondong-bondong pekerja kantoran dan pabrikan berjalan, seperti kawanan banteng liar yang mencari makanan.
Sampirkan dulu gengsi dan tinggalkan di kursi. Kendorkan dasi untuk beli sebungkus nasi. Jakarta di tengah hari adalah helaan napas, mencoba memperpanjang hari.
Inilah Jakarta di tengah hari, jejalan pedagang VCD palsu, togel, dan makanan bahkan sampai di gang sempit berbatas kali.
Di jalan ke arah kota, berjejal-jejal kendaraan merambat berjalan. Klakson, makian, dan umpatan, adalah bumbu di atas hidangan, yang menandakan Jakarta masih aman.
Di jalan ke arah Blok M, kendaraan seperti lalat terkena lem. Berusaha menggeliat. Antri. Merambat mulai dari Semanggi, berusaha membebaskan diri.
Tapi Jakarta tengah hari bukan hanya monopoli masyarakat kelas teri. Aneka mobil mewah bersliweran lagi di jalan. Ke hotel mewah, ke cafe, janji lunch dengan relasi yang harus dipenuhi. Membunuh waktu istirahat siang, dengan bercengkerama gossip terakhir yang ada di TV, sambil sesekali membicarakan pekerjaan.
Ada juga yang memilih apartemen atau kamar sewaan sebagai tujuan. 2 jam waktu istirahat cukuplah. Lebih murah, lebih aman. Apalagi kalau bertujuan untuk istirahat siang bersama yang tersayang. Murah, meriah, dan dijamin setelah itu kesegaran akan datang.
Ini Jakarta, tengah hari lagi. Keringat juga akan terlihat di setiap perempatan jalan. Keringat pedagang asongan, pengamen, dan para pengemis, mulai dari anak kecil sampai pada yang anaknya sudah punya anak kecil. Kecrekan, lagu yang sumbang, berbaur dengan tawaran untuk membeli majalah playboy. Dan tukang lap kaca mobil, dengan lap dekil dan air hitam setengah ember bercampur sabun menerobos lampu merah di sela pengamen, pengemis dan pedagang asongan. Siram dulu, bayar belakangan.
Inilah Jakarta, di siang bolong. Irama keroncong perut yang belum terisi sejak pagi, berbaur dengan tawa yang seksi. Di jalan, di terminal, di warung, dan di cafe dan hotel mewah, yang punya duit membuka mulut dan memamah nasi.
Dan kepengapan di bis kota, angkot, dan kereta api, mencapai puncaknya. Hanya di Jakarta lah terjadi, penumpang yang menaikan kaki di kereta api tidak akan bisa menurunkannya lagi. Jatah dua tapak kaki untuk setiap lembar karcis. Kalau tempat diserobot orang, resiko penumpang.
Dan hanya di Jakarta juga, orang bisa sejenak melarikan diri dan bermimpi kemewahan dengan menyusuri pertokoan-pertokoan yang paling mewah di dunia.
Selalu ada diskon. Setiap hari di pertokoan-pertokoan mewah di Jakarta selalu ada hari besar. Diskon Natal, Tahun Baru, Lebaran, Hari Kemerdekaan, Hari Kartini, Hari Ibu, Fathers Day, Hari Kasih Sayang, dan hari-hari yang mungkin tidak pernah tercatat dalam penanggalan mana pun. Selalu ada diskon. Yang menarik pembeli untuk membeli. Dingin dan diskon, itulah daya tarik pertokoan mewah di Jakarta.
Dan di kaki 5? Diskon selalu ada dalam bentuk Rp. 10.000 dapat 3, atau ambil 1 dapat 2. Jangan takut belanja di Jakarta, hari ini bayar, besok pasti gratis...
Dan mimpi. Tengah hari pun sudah banyak penjual mimpi. Berdagang nomor togel, dari ruko mewah sampai meja kecil di gang sempit. Dengan Rp. 1000, bisa berlipat 400 kali dalam sekejap, asal menebak nomor yang tepat.
Dan mimpi yang lain? Jangan kuatir, di tengah hari Jakarta juga sudah menawarkan kenikmatan badani. Panti pijat tradisional, shiatsu, maupun pijat Thailand, cukup menawarkan kesenangan. Asalkan mau, tak akan ada keringat yang keluar, dan kenikmatan pun tetap didapat, karena disana selalu disediakan AC, handuk, lap, dan air hangat.
Dan anak sekolah. Mulai berbondong-bondong dengan keringat yang bercucuran, pulang ke rumah. Menagih janji nasi matang dan ayam panggang. Walau kadang yang ada hanya nasi raskin dan kerupuk garing.
Jakarta di siang hari adalah cermin negeri ini. Sibuk, macet, bersemangat, berkeringat, ramai, tapi tetap kosong.....
Sita, Kelapa Gading, 11.45-12.35
Tifa, Zsa Zsa, maafkan bunda nak. Saya masih bersimpuh. Menangis sejadi-jadinya. Saya masih tetap kotor, tapi saya juga masih punya kedua anak saya.
Tuhan, saya berdosa. Saya tidak akan pernah sama lagi. Batas itu telah saya lewati.
Tak ada, tak ada lagi hal lain yang saya sesali kecuali rasa egois saya meningalkan dua buah hati saya. Saya kotor, saya egois. Tuhan maafkan saya….
Saya menangis sepuas-puasnya. Saya tumpahkan semua rasa menyesal saya, ketakutan membesarkan 2 orang anak seorang diri, ketidaksanggupan saya mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Latifa tentang ayahnya, semuanya…
Dengan gontai, kemudian saya coba berdiri. Bisa. Saya harus segera pulang ke rumah, ke anak-anak saya. Mereka masih membutuhkan saya.
Saya masuk lagi ke apartemen Aditya, tanpa memandang lagi ke tempat tidur. Biarlah sisa-sisa kemaksiatan itu ada disitu.
Dan saya tidak akan pernah lagi masuk ke apartemen ini, atau pintu mana pun yang bukan hak saya. Saya keluar dari pintu apartemen, saya masukkan kunci apartemen di sela-sela bawah pintu, saya pulang.
Rif, wartel Bendungan Hilir, 12.05-12.15
Mau tidak mau aku terpaksa jalan kaki untuk mencari wartel. Di jaman 5 tahun lalu waktu aku pertama kali kerja di Jakarta, yang namanya wartel ada bahkan di setiap sudut jalan. Sekarang ini, mencari wartel luar biasa sulitnya, semua sudah tergantikan fungsinya dengan handphone.
Ke Bendungan Hilir, pikirku. Wartel tidak mungkin ada di Jalan Sudirman. Artinya dari Gedung GKBI aku harus berjalan sekitar 1 km lagi. Dan aku memang berjalan ke arah sana.
Di jam waktu makan siang seperti ini, jalan kaki hampir sama cepatnya dengan naik mobil atau angkutan umum. Dan uangku yang tersisa di saku celana tinggal Rp. 17.000. Menelepon pun aku nanti harus seperlunya saja.
Agak aneh memang alamat yang diberikan Ismail. Hanya nama jalan, salah satu gang di daerah Kota. Dan dua nomor telepon, nomor flexy dan GSM, berarti Ismail memang sekarang sudah makmur, dia punya 2 hp, walau entah dia bergerak di bidang apa.
Akhirnya aku temukan wartel itu. Menyempil di sela-sela percetakan dan fotocopy yang menjadi ciri bisnis di Jalan Bendungan Hilir. Aku segera masuk ke salah satu box yang kosong, memutar nomor flexy, yang murah. Dan setelah beberapa lama, tidak ada jawaban.
Akhirnya aku memutar nomor telepon GSMnya, terpaksa, sesegera itu juga, nomor telepon itu diangkat.
Halo, ini aku Il, Rif, memenuhi janji, kataku.
Hei, gimana tadi hasil wawancaranya? Kok kedengarannya lemas banget sih kamu?
Ya, begitulah, kayaknya sih gak diterima, biasa, aku cerita penyakit anehku itu..
Kok kamu ceritakan, gimana sih, itukan gak begitu penting...
Ya, gimana, wong aku ditanya. Sudahlah, kebeneran aku juga gak punya acara lain hari ini, dan aku butuh pekerjaan yang kau tawarkan tadi. Gimana, masih berlaku ga tawaranmu tadi?
Ya, pastilah, kamu kesini aja dulu, orientasi lihat-lihat pekerjaan macam apa yang aku lakuin, jangan kuatir, pendapatannya bagus lho, mungkin lebih bagus malah daripada perusahaan yang tadi pagi nawarkan kamu interview...
Ya udah, aku kesana sekarang. Tapi dimana sih kantor perusahaanmu itu? Kamu tadi ga tulis, cuman nama jalannya aja...
Kesinilah, aku tunggu, nanti persis di ujung jalan itu, ada tukang rokok, aku tunggu kamu disitu. Beneran ya, jangan ga datang...
Ya udah, aku berangkat sekarang, kataku sambil setelah itu meletakkan gagang telepon ke tempatnya.
Aneh, perusahaan macam apa pula ini tempat kerja Ismail. Menunggu kok dekat tukang rokok, tapi gajinya katanya bisa sangat besar. Aku bertambah penasaran, mungkin jenis bisnis yang belum pernah aku ketahui, pikirku. Semoga saja bukan multilevel marketing. Dengan sisa uangku, aku tidak akan bertahan lebih dari 5 hari kalau perusahaan si Ismal semacam MLM. Aku tidak punya uang buat transportasi. Dan yang lebih parah, aku tidak punya uang buat menunggu bonus atau komisi sampai bulan depan.
Dan kemudian aku keluar dari pintu box telepon itu menuju ke arah kasir. Selama kurang dari 3 menit, biaya telepon itu Rp. 6.300, sangat mahal menurut ukuranku. Dan sisa uangku tinggal Rp. 10.700 di saku celana. Cukup untuk ke tempat kerja Ismail naik busway, dan masih ada sisa yang pas untuk pulang nanti. Artinya, selama sisa hari ini, aku tidak akan bisa beli minuman atau makanan, kalau tidak mau pulang ke Ciracas jalan kaki atau jual sepatu dulu!
Aditya, Hotel Sahid, 12.35-13.00
Sudah 5 menit kami, aku dan Nayla, sampai di tempat makan siang yang dijanjikan, di restoran di dalam Hotel Sahid. Restoran yang di belakang, tamu-tamuku nanti paling tidak suka dikenali orang banyak di tempat umum, apalagi dalam masa-masa pengumunan tender seperti ini. Dan orang-orang pemerintah itu masih belum datang.
Bukannya tanpa maksud aku mengajak Nayla. Sekertaris yang cantik dan pintar melihat situasi ini aku harapkan akan dapat mencairkan suasana yang aku tahu pasti akan cukup ”panas” nanti. Usulan pekerjaan yang aku sampaikan mulai tahun lalu itu tampaknya setelah menjadi anggaran resmi pemerintah, bukan hanya perusahaanku saja yang tertarik, banyak pihak lain yang mulai mengincar.
Dan Nayla, dengan penuh percaya diri mulai dari lobby depan sampai di restoran belakang ini, dia menggandeng tanganku, atasannya langsung di kantor. Dan aku, dengan gampangnya dan pasrahnya, mau digandeng oleh sekertaris cantik dan seksi ini, seakan-akan sepasang kekasih yang akan makan siang bareng.
Kami masih menunggu. Nayla duduk di sebelahku, di sofa panjang. Dan Nayla, entah ini perasaanku saja, terus memberi isyarat-isyarat halus ketertarikannya kepadaku. Hmmm, kalau saja aku belum beristri, kalau saja tadi malam aku tidak bercinta dengan Sita. Wajah cantik dan manis dengan tubuh seksi yang terbungkus rok mini hijau tua dan kemeja sutra warna hijau muda dengan blazer berwarna coklat kehijauan ini, sangat mengundang.
Seakan tahu kegalauan pikiranku, dengan memain-mainkan serbet di atas meja, Nayla mulai bertanya kepadaku,”Mas Adit, kenapa sih seharian ini kok sepertinya banyak sekali pikiran? Gak biasanya lho aku lihat mulai dari tadi pagi Mas Adit kelihatan sebentar emosi, tegang, sebentar juga senyum-senyum sendiri”.
”Masa ih Nay? Emang biasanya aku ga pernah emosi yah?”, tanyaku agak heran. Alangkah mudahnya tapi orang membaca perubahan emosiku, terutama si Nay ini.
”Yah biasanya sih moodnya ga berubah-ubah, kalo lagi emosi bisa seharian, kalo lagi seneng juga gitu. Ini enggak, kayak lampu setopan. Cerita dong Mas, ada apa sih, mungkin Nay bisa bantu”.
Dan entah kenapa, apa aku memang sangat membutuhkan teman bicara, sambil menunggu pesanan minuman dan tamu-tamu kami datang, aku ceritakan tentang kegalauanku gara-gara telepon istriku tadi. Sesuatu yang sebelumnya kutabukan, menceritakan masalah pribadi dengan orang kantor, sekertaris pribadiku lagi. Tiba-tiba saja aku menceritakan semuanya pada Nayla.
Tentang harapan-harapanku pada perkawinan, mimpi-mimpiku, dan terutama juga, entah kenapa, aku ceritakan masalah paling pribadi dalam hubungan perkawinanku, masalah komunikasi yang tidak pernah berjalan lancar.
Masa pacaran kami tergolong singkat, hanya 6 bulan. Tepat 1 bulan setelah Sita menolak lamaranku, aku berkenalan dengan Fitri. Dikenalkan Sita. Aku ceritakan bagaimana akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Aku ceritakan bagaimana keluarga besarnya mula-mula menolak, karena aku sebenarnya bukan dari kalangan orang kaya. Di keluargaku, aku satu-satunya yang mempunyai pendidikan yang cukup tinggi dan bekerja di Jakarta, sedang Fitri dari keluarga besar pengusaha kaya raya, dan dia anak perempuan satu-satunya dari 4 orang bersaudara yang semuanya berpendidikan tinggi dari luar negeri.
Satu tahun yang lalu waktu aku nikahi, dia masih seorang manajer di kantor pusat perusahaannya di Jakarta, 9 bulan yang lalu dia menjadi kepala cabang di Surabaya, dan sekarang, tawaran yang lebih baik menunggunya. Tapi bukan itu inti masalahnya, kepindahannya ke Surabaya, walau secara jarak sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi sangat mempengaruhi komunikasi kami.
Dan selama setengah tahun terakhir, tiba-tiba aku melihatnya sebagai orang yang berbeda, bukan wanita yang aku nikahi dulu. Sifat-sifatnya pelahan mulai berubah. Sifat otoriter dan keras kepalanya pelahan mulai menjadi. Tapi aku masih bisa mentolerirnya, sampai pagi tadi.
Dan Nayla, sangat mengejutkan reaksinya. Dia adalah pendengar terbaik yang pernah aku temui. Segala keluh kesahku, permasalahanku, dan ceritaku, ditanggapinya dengan mata prihatin dan dewasa.
Dan Nayla terus memegang tanganku selama aku cerita. Dan aku juga memegang tangannya. Kami bukan seperti sekertaris dan atasan lagi, di tempat umum yang terbuka. Kami saling berpegangan tangan dan aku bercerita dengan terbuka padanya.
Hanya satu yang tidak aku ceritakan padanya. Hubunganku dan perasaanku dengan Sita, terutama tentang percintaan kami tadi malam.
Nayla, seakan bukan Nayla yang selama ini kukenal. Dia sangat dewasa. Sangat berbeda dengan kemanjaannya dan keceriaannya yang sehari-hari kelihatan. Matanya, tatapan matanya sangat mengingatkan aku dengan Sita. Dan air matanya berlinang mendengar ceritaku. Mendengar bagaimana juga selama ini istrikulah yang menganggap dirinya sebagai kepala keluarga, karena pendapatannya yang lebih besar dari aku dan dia tidak memerlukan pendapatanku.
”Selamat siang Pak Aditya, apa kabar”,
Tiba-tiba saja semuanya buyar begitu aku mendengar sapaan itu dari belakangku, otomatis aku melepaskan genggaman tanganku dengan Nayla. Pak Sudibyo dan Pak Panangian tiba-tiba saja muncul dari belakang dan sampingku. Aku tidak tahu, bagaimana warna wajahku dan wajah Nayla.



Rif, Kota, 12.55-13.30


Tidak sulit ternyata menemukan tempat kerja Ismail. Hanya satu halte busway sebelum Glodok aku turun, menyeberang ke arah barat, berjalan kaki ke arah selatan 100 m, dan aku menemukan Ismail berdiri di mulut gang. Aku sebenarnya sudah melihat dia dari atas busway, baju biru-birunya, dan gaya merokoknya sangat berbeda dengan orang-orang lain.
”Akhirnya!”, kata Ismail sambil memelukku. Tinggi Ismail yang hanya sedikit diatas bahuku dan gaya memeluknya yang agak canggung, membuat orang-orang di sekitar memperhatikan kami. Tapi dari dulu aku sangat senang berteman dengan Ismail. Seorang teman setia yang dengan tidak segan-segan sering mengeluarkan uang pribadi untuk menolong orang-orang di sekitarnya.
Masih aku ingat, dulu waktu kami satu kantor, ada seorang office boy yang mendadak sakit thypus yang cukup parah dan lama. Dengan rela hati, Ismail menyumbangkan seluruh uang hasil lemburnya untuk membantu, karena office boy yang sakit tidak ditanggung oleh perusahaan, dan diantarkannya sendiri ke rumah sakit. Juga tidak terhitung pertolongan-pertolongannya buat teman-teman di kantorku dulu, mulai hanya membantu pekerjaan sampai tidak segan-segan mengajukan diri jadi ketua panitia untuk bakti sosial.
”Ga susah kan nyarinya. Ya disini ini tempat gua bekerja”, katanya sambil menunjuk semacam cafe kecil di dalam gang.
”Yuk masuk, lu belum makan siang kan? Sekalian gua pesenin ya, jangan kuatir gua yang bayar, yang enak disini iga bakarnya”, kata Ismail sambil langsung memesankan untukku iga bakar dan sop pada pelayan yang sedang menunggu.
Dengan masih belum sempat berkata apa pun, aku duduk, dan menuruti semua ajakan Ismail. Cafe yang kecil, di halaman depan rumah dan menyatu sampai ke bangunan induk rumah lama model China-Belanda, khas bangunan daerah Kota. Nuansa campuran antara model rasta dan India ada di mana-mana, mulai dari warna kursi, sampai pada hiasan dinding.
“Kamu benernya kerja wiraswasta apa sih Il? Cafe ini?”, tanyaku masih terbengong-bengong.
“Salah satunya memang iya, cafe ini modalnya dari duit gua sama 3 orang teman yang lain. Tapi itu bukan kerjaan utama gua, gua ikut tanam modal biar gak malu aja tiap hari nongkrong disini, yah cuman sekitar 20% lah saham gua disini” jawabnya yang membuat aku terkagum. Menurut aku, itu pun sudah hebat sekali, karena setahuku dulu si Ismail tidak lebih baik dari aku keadaan ekonominya.
“Kerjaan gua dagang”, lanjut Ismail.
Dan tiba-tiba saja hpnya berbunyi.
“Ada, masih ada kok kalau mau. Mau ambil ukuran biasa apa ditambah nih. Barangnya murni bener lho, jarang yang seperti ini sekarang”, kata Ismail menjawab hp.
”Ya udah, datang aja kesini langsung Koh, atau diantar? Ada kok yang sekarang yang bagian antarnya. Oh, ya udah kalau Koh mau datang kesini sendiri, pakai mobil yang biasa kan?”, jawab Ismail masih di hp.
”Ya begini ini pekerjaan gua. Berdagang. Nanti lu akan tahu apa yang gua jual, sekalian gua kenalin lu sama customer gua”, kata Ismail sambil menutup lagi hp V3 motorollanya. Hmm, benar-benar sudah makmur dia sekarang.
”Kalau lu mau, lu bisa bantu gua disini sekarang pelanggan gua tambah banyak. Gua sekarang kerja sendirian. Kemaren-kemaren gua punya anak buah 3 orang, sekarang ga tahu kenapa mereka kok tiba-tiba mengundurkan diri. Udah cukup kali tabungannya dan mau buka usaha sendiri”, kata Ismail menjelaskan sambil mengepul-ngepulkan asap rokoknya.
”Terus, apa yang bisa aku bantu disini?”, tanyaku sambil masih belum bisa membayangkan kira-kira apa dagangan Ismail.
”Lu bisa jadi kurir atau penghubung. Nanti gua bayar berdasar komisi. Gampanglah itu kerjanya, pegawai gua yang dulu aja bisa dapetin duit komisi sebulannya rata-rata Rp.2.500.000 sampai Rp. 3.000.000”, jawab Ismail.
”Sebesar itu jadi kurir? Maulah aku kalau gitu jadi karyawanmu. Trus, apa aku langsung diterima kerja nih, dan mulai kapan?” tanyaku antusias.
”Lu kan teman gua dari sononya Rif, gua percaya lu. Sarjana lagi, biar penganggur, he-he. Tenang aja, tentu aja gua langsung terima. Malah gua yang akan mendidik lu langsung biar satu saat lu punya usaha sendiri“, kata Ismail.
“Udah habisin dulu makanan lu. Nanti lu akan belajar langsung cara-caranya kalau Koh Daniel datang. Sekalian lu bakalan dapat komisi pertama hari ini. Lu lagi butuh duit banget kan?“, balas Ismail.
Aku hanya bisa mengangguk. Dan menikmati makan siangku. Meski berbeda kenikmatannya dengan sarapan tadi pagi dengan Sutopo, aku sudah lama tidak makan enak. Biasanya nasi uduk setengah, yang kadang ditambah mPok Jum karena kasihan, dan tahu tempe. Dua kali sehari. Makanya sekarang aku puaskan benar selera makanku.
Dan Ismail melihatku sambil tersenyum-senyum senang. Dia memang kawanku yang baik.
Sita, taksi Kelapa Gading-Rawamangun, 13.15-13.45
Saya tidak tahu, apa yang sebenarnya merasuki saya tadi sehingga hampir berbuat satu hal yang sangat terkutuk. Bunuh diri. Setelah bersetubuh dengan lelaki istri orang.
Di dalam taksi, yang merambat dengan sangat pelan mulai dari apartemen Aditya tadi, saya mulai bisa berpikir lebih jernih.
Baru sekali ini tadi saya bertindak dengan hanya mengandalkan perasaan. Biasanya saya sangat logis, dan bunuh diri jelas tidak masuk menjadi salah satu pilihan saya dalam keadaan apa pun. Tapi saya tadi sudah sempat akan melakukannya. Itu bukan saya. Bukan Sita yang saya kenal.
Memang tidak mudah perkara yang saya hadapi sekarang. Terlepas dari masalah pekerjaan yang memang tanggung jawab saya semakin berat, masalah keinginan Latifa untuk ketemu lagi dengan ayahnya yang menjadi pikiran saya. Dan telepon mantan suami saya kemarin.
Saya tidak akan bisa membiarkan anak saya untuk bertemu lagi dengan ayahnya. Seorang pengkhianat. Saya tidak akan membiarkan jiwa-jiwa yang masih suci itu kemudian akan bertanya-tanya penyebab kenapa ayahnya meninggalkan kami, dan kenapa akhirnya dia memilih untuk menikah lagi. Dan kenapa selama ini tidak pernah sekali pun berusaha untuk bertemu dengan anak-anaknya.
Lelaki itu pasti akan berbohong, walau yang bertanya nanti adalah anaknya sendiri. Dan saya takut, kebohongan demi kebohongannya akan mempengaruhi jiwa anak saya yang masih suci. Dia jelas pengkhianat, juga pembohong yang paling baik yang pernah saya temui. Dengan mata polos dan tanpa rasa bersalah, dia bisa bercerita tentang kebohongan apa saja.
Dan saya. Meskipun sebenarnya tadi malam saya tidak mengkhianati siapa pun, tapi paling tidak saya telah mengganggu rumah tangga orang lain. Tidur dengan lelaki selain mantan suami saya bahkan tidak pernah saya lakukan seumur hidup kecuali tadi malam. Rumah tangga Aditya, menyakiti perempuan yang menjadi istrinya sekarang, sahabat saya sendiri. Peran saya sama dengan peran anak buah mantan suami saya dulu, apa pun alasannya.
Dari sebelum menikah bahkan sesudah bercerai pun saya tidak pernah tidur dengan orang lain selain mantan suami saya itu, dan itu saya lakukan sesudah saya menikah. Kebutuhan itu memang ada, selalu ada. Kebutuhan untuk dicintai, dibelai, dan dilindungi. Selama ini, selalu bisa saya alihkan ke pekerjaan, dan kalau memang sudah tak tertahan, saya melakukannya sendiri. Sendiri.
Sampai tadi malam.
Tiba-tiba perut saya kembali perih.
Saya harus berhenti. Peristiwa tadi malam, tidak akan pernah saya ulangi lagi, kapan pun. Saya harus menghubungi Aditya. Sekarang. Saya tidak mau di satu waktu saya yang akan menjadi penyebab keluarga orang lain berantakan, keluarga Aditya atau keluarga siapa pun.
Saya ambil hp saya. Ada miscall 5 kali tadi malam, dan 5 kali sepanjang pagi tadi. Semalam memang hp itu ada di tas saya, yang sangat susah untuk didengar dari luar, dan tadi pagi mungkin tas saya sedikit terbuka, jadi saya bisa mendengar panggilan dari hp Latifa, panggilan yang mencegah saya melompat.
Tadi malam, telepon semuanya dari rumah dan dari hp Latifa. Tadi pagi ada 2 miscall lagi dari rumah, satu dari kantor, dan 2 dari hp Adit.
Ada apa dengan Latifa dan Zsa Zsa, saya semakin merasa bersalah. Saya coba untuk menelepon ke rumah, saluran sibuk. Menelepon hp Latifa tidak diangkat. Ada apa ini? Tiba-tiba saya mulai cemas.
Adit, saya juga harus menghubungi Adit. Saya harus menjelaskan perasaan saya, terutama setelah kejadian tadi malam.
Dan saya mulai memencet tombol-tombol hp saya. Berbagai perasaaan tiba-tiba muncul.
Dit, tadi malam adl kesalahan yang fatal. Itu bukan gw, dan itu juga bukan lo. Lupain semua. Lupain yang tadi malam. Hubungan kita akan terus berlanjut seperti yang kemaren2. Rekan kerja biasa. Lupain Dit, kembalilah ke istrimu spt gw yang juga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Dan saya pencet tombol send.
Pesan terkirim. Dan saya merasa sedikit lega. Tinggal menelepon ke rumah. Tetap tidak bisa. Dan lalu lintas macet. Sangat macet, taksi hanya bisa bergerak sangat pelan.



Aditya, Hotel Sahid, 13.30-14.00

Memang sangat alot pertemuan yang kami lakukan. Alot bukan perkara apa-apa, tapi bagaimana dari proyek yang akan kami dapat nanti semua orang senang. Everybody happy! Prinsip utama dalam setiap pelaksanaan pekerjaan proyek di mana pun di Indonesia, terutama proyek pemerintah. Pista, tipis tapi rata, maupun belanak, tebel tapi tetap enak, adalah hukum wajib bagi setiap pekerjaan proyek di Indonesia, terutama pemerintah.
Untung aku membawa Nayla. Kengototan Pak Sudibyo untuk tetap mengikutkan sub kontraktor miliknya sendiri yang sama sekali belum berpengalaman dalam pekerjaan sejenis agak berkurang oleh senyum maupun celetukan-celetukan cerdas Nayla. Dia memang bukan sekedar sekertaris, tapi mampu berperan sebagai marketing sekaligus PR perusahaan.
Nayla, walau tidak sehebat Sita, dengan gayanya yang khas adalah salah satu negoisator yang baik di perusahaanku, walau secara status dia sekertarisku. Dan Nayla juga yang akhir tahun lalu berhasil “menyelamatkan” kelebihan pajak lebih dari 200 juta di divisiku.
Tiba-tiba hp ku yang ku silent bergetar. Dari Fitri. Aku baca.
Mas Adit tadi matiin hp, gak setuju ya Pipit maju? Tapi aku sudah mengambil keputusan, dengan atau tanpa restu Mas Adit aku akan menerima jabatan baru itu. Tolong digarisbawahi, dengan atau tanpa restu Mas Adit....
Khas Fitri. Bossy, kepala batu, dan menomorsatukan karir lebih dari segalanya. Mungkin wajahku berubah, karena kemudian Nayla bertanya, “Dari Pak Yudi ya Mas?”, yang kemudian kata mas itu disadarinya sendiri.
“Iya. Biasa, ada meeting lain nanti setelah ini. Hidup kok rasanya ga pernah selesai dari meeting ya Nay”, jawabku sekalian memberi isyarat ke kedua calon klienku kalau aku tidak bisa berlama-lama seperti mereka untuk hanya membicarakan satu masalah. Jelas satu upaya bohong yang sia-sia, karena dari sananya aku memang ga punya bakat sama sekali buat bikin alasan atau bohong ke orang lain.
“Ya, maklum sih Pak Aditya kan memang orang sibuk, mungkin orang nomor 3 yang paling sibuk di negara ini setelah presiden dan wakilnya”, kata Pak Dibyo setengah mengejek dan ga percaya dengan kebohonganku. Ini salah satu kelemahan utamaku dalam negoisasi, aku tidak pandai untuk menggertak, dan apalagi berbohong atau berstrategi lain. Wajahku termasuk wajah yang paling gampang dibaca, bukan sejenis wajah poker seperti wajah Bang Paladen.
Dengan masih menanggapi Pak Dibyo, aku jawab SMS Fitri.
Aku masih belum bisa komentar Pit. Dengan atau tanpa persetujuanku? Apa artinya aku sebagai suamimu. Tolong pikirkan itu dan kalo bisa segera ke Jkt………
Aku memang tidak habis pikir dengan Pipit ini, apalagi yang akan dicarinya. Dia punya aku, suaminya, karir yang bagus di Indonesia, dan income yang lebih dari cukup. Ditambah lagi dengan dukungan seluruh keluarga besarnya, di Indonesia pun dia tetap akan mendapat penghargaan yang tinggi dari orang-orang di sekitarnya, bahkan di kalangan luas pebisnis.
Sifat-sifat tidak mau mengalahnya, terutama kalau dibandingkan dengan lelaki, membuat dunia pun tidak akan cukup untuk menampung cita-citanya. Sangat ambisius.
Beda dengan Sita, yang gila kerja. Sita sama sekali bukan orang yang memikirkan karir, uang, atau reward yang lain. Dia bekerja karena memang suka bekerja dan tidak mau menjadi orang yang tidak produktif. Semuanya, karir, kesempatan, dan lain-lain datang belakangan. Dan aku tahu, jauh di dalam dirinya, sebenarnya kerja adalah salah satu bentuk pelariannya saja.
Masih setengah melamun aku, ketika Pak Panangian menjelaskan arti humor yang agak jorok ke Nayla. Lelaki dimana-mana sama saja, walau pun setua Pak Panangian yang aku yakin sudah berumur di atas 50 tahun, begitu ketemu cewek cantik semacam Nayla, kata-kata maupun gurauan yang hot langsung keluar semua.
Kami masih tertawa-tawa, ketika kemudian hpku bergetar lagi. Kali ini benar. Dari Sita.
Dit, tadi malam adl kesalahan yang fatal. Itu bukan gw, dan itu juga bukan lo. Lupain semua. Lupain yang tadi malam. Hubungan kita akan terus berlanjut seperti yang kemaren2. Rekan kerja biasa. Lupain Dit, kembalilah ke istrimu spt gw yang juga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Sita. Dan kata-kata dalam SMS itu. Seolah semuanya dengan begitu saja bisa dilupakan. Semalam adalah puncak pendekatanku ke Sita selama bertahun-tahun, terutama setelah dia ditinggal suaminya. Si gunung es itu akhirnya tidur di pelukanku semalam. Kami bercinta. Dan istriku, dia minta aku kembali ke istriku, padahal dia tahu persis seperti apa sifat-sifat istriku. Sahabatnya sendiri yang dikenalkan ke aku.
Aku jadi membayangkan sosok-sosok Sita yang kukenal. Sita tiga hari lalu, rekan kerjaku yang handal di kantor, Sita yang tadi malam, pasangan bercinta yang luar biasa, dan Sita yang hari ini, yang belum kukenal. Tapi dia tetap orang yang sama, Sita. Yang selamanya kucintai.
Wajahku pasti mendadak pucat. Lebih pucat dari tadi. Dan jariku memang gemetar.
Dengan segera, aku meminta ijin ke toilet pada 2 orang klienku, yang aku tahu pasti juga melihat perubahan wajah maupun sikapku setelah membaca SMS yang kedua tadi. Dua SMS, dua-duanya mempengaruhi aku dengan caranya masing-masing.
Sekilas aku masih melihat tatapan kuatir dari Nayla. Dia pasti tahu ada sesuatu yang salah, apalagi setelah sebelumnya aku sempat cerita sebagian besar masalahku dengan istriku. Dan Nayla juga terlalu mengenalku. Selama 2 tahun terakhir menjadi sekertarisku, dia sangat mengenal semua sifat dan perangaiku, termasuk perubahan wajahku.
Selain Sita, dia mungkin yang paling mengenal sifat-sifatku, lebih dari Fitri, istriku sendiri. Setiap reaksi emosiku yang sering meledak-ledak, dengan tepat dia sudah bisa memprediksi.
Untung toiletnya dekat, kira-kira 20 meter an dari tempat duduk kami. Di toilet, tiba-tiba saja aku muntah, tiba-tiba perutku bergolak seolah diremas-remas. Muntah cairan asam perut saja, muntah kering. Dan aku ke wastafel, cuci muka. Segar, tapi sama sekali ga bisa menghilangkan berbagai pikiran dikepalaku. Campur aduk. Fitri-Sita. Sita-Fitri. Fitri-Sita. Sita-Nayla. Nayla-Fitri. Nayla-Nayla. Lho....
Dan aku lihat wajahku di cermin. Wajah ceria tadi pagi sudah hilang. Sekarang wajah Aditya yang belum aku kenal kelihatan di cermin. Wajah kelelahan.
Aku memang bukan tipe lelaki yang membanggakan penampilan fisik, tapi dari cermin toilet itu, kelihatan jelas betapa kacaunya wajahku, baju masih sangat rapi, batik lengan pendek berwarna cerah dengan celana canvas hitam, dan sepatu hiking, aku sellau bersepatu hiking, tapi berwajah berantakan. Dan ini masih jam 14.00, masih jauh dari jam kerja kantor, dan masih ada dua meeting lagi yang harus aku lakukan.
Tiba-tiba kepalaku pening....
Aku harus selesaikan satu-satu. Terutama Fitri...
Dan Nayla. Kok pikiranku malah selalu ke Nayla, pikirku sendiri terheran-heran sambil keluar toilet.


Sita, Rawamangun, 14.15-14.45

Akhirnya saya sampai ke rumah. Lebih dari satu jam dari apartemen Aditya sampai ke rumah.
Tiba-tiba saja hati saya semakin tidak tenang setelah melihat pintu depan rumah saya terbuka. Pintu pagar dan pintu rumah, dua-duanya terbuka. Dengan tidak menunggu kembalian lagi, langsung saya berkan satu lembar ratusan ribu ke sopir taksi. Dan langsung saya buka pintu taksi.
Saya masuk ke pintu rumah. Hanya ada si Nur, pembantu saya yang kecil dengan mata merah. Pembantu saya yang lain, Sukamah, tidak ada. Begitu juga Zsa Zsa.
”Ada apa Nur, kemana anak-anak”, tanya saya.
”Maaf Bu, dari tadi malam saya sudah coba menelepon Ibu”, jawabnya takut-takut. Walaupun sudah lebih dari 4 tahun Nur ikut aku, dari dulu dia masih takut-takut kalau bicara tentang masalah yang penting. Dan sepertinya masalah yang sekarang ini lebih penting dari yang biasanya.
”Ada apa? Kemana anak-anak?”, tanya saya tidak sabar.
”Tadi malam, kira-kira jam 10 malam, Mbak Latifa mulai panas. Tinggi sekali, sudah saya coba untuk beri obat penurun panas dan kompres, tapi tidak turun-turun. Terus sempat juga kejang-kejang sekitar jam 5 pagi. Akhirnya Mbak Suk minta tolong sama Bu Ali jam 8 tadi pagi, dan sekarang Mbak Latifa sama Mbak Suk di rumah sakit Haji. Mbak Latifa harus rawat inap”, kata si Nur menjelaskan terbata-bata.
Saya langsung lemas, duduk di kursi tamu. Belum pernah sekali pun anak saya masuk rumah sakit. Dan sekalinya masuk rumah sakit, yang mengantarkan Bu Ali, tetangga sebelah. Dan saya, ibunya, bersetubuh dengan lelaki lain waktu anak saya membutuhkan saya. Ibu macam apa saya?
Dan Zsa Zsa, dimana dia?
”Zsa Zsa dimana?”, tanya saya.
”Adik tidur di kamar Ibu”, jawab si Nur. Artinya kalau Zsa Zsa tidur di kamar saya cuma dua, dia takut petir atau memang kangen ibunya. Saya semakin merasa bersalah.
Dengan segera, saya masuk ke kamar. Saya lihat anak saya itu tidur dengan melingkar. Saya usap dan cium pipinya. Dan dia bangun. ”Bunda, jangan pergi lagi, kakak sakit!”.
Serasa ditusuk jantung saya.
Kalimat pertama yang diucapkannya adalah tuntutan, tuduhan, sekaligus vonis bagi saya. Dan anak saya benar. Sangat benar. Saya adalah seorang ibu yang jelek. Ibu yang jahat. Ibu yang menelantarkan anak sendiri.
Saya peluk anak saya.
”Maafkan Bunda sayang, bunda yang salah. Bunda tidak akan meninggalkan kamu dan kakak lagi”.
”Tadi katanya kakak pergi diantar ayah. Ayah itu berkumis ya Bunda. Zsa Zsa tadi dicium”, kata Zsa Zsa sambil memeluk saya.”Ayah itu bekerja kayak bunda ya?”.
Begitu bertubi-tubi pertanyaan anak saya. Dan saya tidak mampu menjawabnya. Saya menangis sejadi-jadinya. Dia tidak kenal ayahnya sendiri. Anak saya, yang berpisah dengan ayahnya sendiri selama hampir 3 tahun terakhir, akhirnya tidak mengenalinya sama sekali.
Rif, Kota, 14.00-15.00
Koh Daniel akhirnya datang. Dari tadi aku menunggu sambil terkantuk-kantuk di dalam cafe. 2 batang Dji Sam Soe sudah kuhabiskan, dari Ismail tentu saja. Dulu aku memang perokok, tapi akhir-akhir ini memang sudah mulai berhenti, ya karena alasan apalagi selain memang tidak ada uang sama sekali untuk jatah rokok. Terakhir aku merokok pun minggu lalu, 2 batang Gudang Garam filter, minta Dino.
Dan Ismail, yang katanya akan menerangkan bisnis apa yang dilakukannya ke aku, hanya matanya saja yang menerawang. Learning by doing, katanya. Lihat aja aku nanti, itu saja kata-kata yang diulangnya berkali-kali.
Dan Koh Daniel akhirnya datang. Bertubuh tegap, berambut lurus sepundak, dengan kaca mata hitam, dengan dandanan persis seperti mafia-mafia Hongkong di film-filmnya Jacky Chen, keluar dari mobil Mercy Tiger merah tuanya yang diparkir di jalan depan cafe. Aku jadi semakin penasaran, bisnis macam apa ini, dari penampilannya, soalnya gaya Koh Daniel lebih mirip anak-anak muda di mall-mall sekitar tahun 90an, sok aksi. Sama sekali berbeda dengan tampang-tampang ramah tapi ambisius orang-orang keturunan Cina di daerah Glodok yang aku tahu selama ini.
Ismail, dengan segera bangkit sambil tersenyum. Lenyap sudah tampang lesu-menunggunya.
”Datang juga akhirnya Boss besar ini, memang hanya Koh Daniel boss yang mau datang kesini langsung”, sapa Ismail.
Dengan wajah setengah bersungut-sungut dan terpaksa, Koh Daniel masuk ke cafe sambil membuka kaca mata hitamnya. Dan dengan satu lirikan cepat ke arahku, wajahnya bertambah tidak senang.
”Dia ini siapa?”, tanyanya langsung ke Ismail tanpa memandangku lagi. Aku, yang berdiri di sebelah Ismail, jadi serba salah.
”Udahlah Koh, aman, ini teman lama gua, sangat bisa dipercaya, gantiin si Dahlan yang tempo hari. Kenalin, ini Rif, Arif, teman lama gua sama-sama menderita di kontraktor dulu”, jawab Ismail.
Dengan tanpa mengacuhkan aku, Ismail langsung ditarik Koh Daniel ke meja paling pojok di cafe. Sekitar 5 meteran dari tempatku duduk yang ada di deretan meja paling luar cafe.
Setelah duduk, Ismail hanya bicara sekilas ke pelayan cafe, yang aku dengar hanya kata-kata, minum yang biasa buat Koh Daniel, katanya. Artinya jelas ini bukan kunjungan pertama si Engkoh ke cafe ini.
Sehabis pelayan membawakan bir hitam Guinness dan gelas besar, baru mereka berdua bicara serius sekali. Sambil setengah berbisik-bisik.
Aku, yang 5 meteran jaraknya dari mereka, hanya bisa dengar sebagian kecil saja kata-kata mereka. Yang jelas ada kata-kata barang, diantar nanti malam, dan selanjutnya sederetan gumaman. Yang terakhir dan agak jelas hanya saling tawar mereka perkara harga. Sepertinya Koh Daniel seorang penawar dan negosiator yang cukup ulet. Berkali-kali dia minta harga yang lebih murah ke Ismail.
Bisnis macam apa ini? Aku semakin bertanya-tanya. Kecurigaanku mulai muncul, jangan-jangan ini bisnis barang terlarang, semacam obat-obatan terlarang, pikirku. Kalau melihat penampilan Koh Daniel sih sangat bisa. Tapi Ismail?
Setahuku Ismail termasuk orang yang taat beragama. Minimal, selama aku kerja, dia bahkan yang pertama masuk musholla sebelum yang lain-lain datang. Tidak mungkinlah, pikirku. Paling-paling mereka berbisnis DVD bajakan, simpulku. Kalau DVD bajakan, aku sih masih oke-oke saja. Dino, temanku satu kontrakan yang asal Minang itu, bahkan penjual DVD bajakan di dekat Perempatan Pasar Rebo. Dan hasilnya lumayan.
Berkali-kali bahkan Dino menyarankan aku buat buka lapak yang sama di dekatnya. Nanti aku modalin dulu, kata Dino, biar calon pembeli nggak lari kemana-mana. Satu alasan yang menurutku agak tidak masuk akal, karena kalau aku jualan di dekatnya, jelas aku menambah saingannya. Aku tahu pasti, di balik sikap kerasnya itu Dino hanya merasa kasihan melihat aku. Seorang sarjana pengangguran tanpa uang, sedang dia sendiri, walau hanya tamatan STM di Padang sana, bisa mengirim uang secara rutin ke anak istrinya di kampung.
Karena itu aku masih belum bisa menerima tawarannya. Aku masih bisa hidup tanpa belas kasihan orang lain, sementara ini, selain satu bungkus nasi uduk yang tadi pagi aku terima dari Sutopo. Ya, dipandang dari sudut mana pun, mungkin aku sekarang termasuk orang-orang yang sudah patut dikasihani, pikirku.
Koh Daniel tiba-tiba saja berdiri. Pembicaraan mereka sepertinya sudah selesai, pikirku, dan memang begitu. Ismail ikut berdiri, sambil kemudian menjabat tangan Koh Daniel.
”Oke Koh, separoh nanti malam sudah bisa anak-anak Koh terima”, kata Ismail, ”Tenang aja, gua punya orang baru, lancar dah”, sambung Ismail lagi.
Tanpa salam, apalagi menengok aku, Koh Daniel melangkah keluar sambil memakai lagi kaca mata hitamnya. Otomatis, aku dan Ismail mengikutinya, satu hal yang mungkin tidak disukainya, karena dengan cepat dia menoleh ke arahku, seakan tidak senang.
Tapi akhirnya, aku juga yang memberi aba-aba mobil Mercy Tigernya, untuk bisa memutar dan keluar gang sempit ini. Yah, ternyata tugas pertamaku sebagai karyawan Ismail adalah jadi tukang parkir dadakan, pikirku.
”Jadi gimana Il? Beres semua?”, tanyaku sembari masuk ke cafe lagi dan menarik kursiku, kali ini aku duduk di bekas kursi Koh Daniel tadi.
”Ya, gitu deh, untung lumayan aku kali ini. Selanjutnya tugasmu, kamu mulai kerja hari ini, malam ini, mungkin sampai malam sekali, mau kan?”, tanyanya sembari tersenyum dan kemudian menenggak botol bir hitam Koh Daniel yang tidak habis tadi.
Ismail minum alkohol, pikirku sambil terkejut. Dan aku juga baru sadar, cafe ini, yang kata Ismail sebagian sahamnya punya dia, juga menjual aneka minuman alkohol di deretan rak belakang kasir, yang baru terlihat setelah aku pindah tempat duduk di pojok ini. Ismail yang taat beragama dan anti minuman alkohol, bahkan termasuk orang pertama yang berangkat ke Aceh 2 hari setelah peristiwa tsunami dulu. Waktu memang bisa mengubah idealisme seseorang, sangat bisa, mungkin aku setelah ini yang akan diubahnya.
”Honor lu, untuk malam ini aja 500 rebu, belum termasuk ongkos taksi. Cuman lu mesti ngantar barang ke 5 tempat berbeda”, kata Ismail.
500 ribu, itu hampir 2 kali lipat seluruh uangku sekarang. Dan itu buat kerja semalam, bayangkan kalau sebulan, kalkulator di otakku langsung berhitung. Itu juga setara dengan lebih dari seminggu penghasilan jualan DVD bajakan yang ditawarkan Dino, minus panas, debu, dan urusan dengan preman-preman Pasar Rebo. Aku langsung antusias sekali.
”Ya tapi itu tergantung order, kebetulan aja lu datang hari ini, urusan sama Koh Daniel kelar, jadi lu ikut kecipratan hasilnya”, seakan bisa membaca pikiranku Ismail ini.
Tapi 500 ribu tetap 500 ribu. Uang yang sangat banyak dengan ukuran keuanganku yang sekarang. Malahan aku bisa mengirimkan sebagian buat adikku di Pasuruan, yang aku tahu butuh uang minimal 150 ribu buat EBTANAS SMU nya.
Dan Ismail kemudian menjelaskan pekerjaanku. Dan aku terkejut. Sangat terkejut.



Aditya, Gedung GKBI Sudirman, 14.30-15.00

Akhirnya sampai juga aku di kantor. Sembari membuka pintu ruang kantor, diikuti Nayla di belakangku, aku berpikir, semakin tinggi jabatanku, pekerjaan yang kuhadapi bukannya semakin gampang, tapi malahan semakin sulit, kusut, dan berbelit-belit. Bayanganku dulu sewaktu masih menjadi enjiner dan karyawan muda, pekerjaan boss-boss itu akan semakin gampang. Tinggal ketemu direstoran atau cafe, ngobrol ngalor-ngidul, tapi dengan gaji yang puluhan kali lipat dari anak buah.
Ternyata jauh dari bayanganku. Sangat jauh. Apalagi kalau yang kuhadapi adalah klien-klien pemerintah, banyak birokrasi dan perkara upeti yang harus diselesaikan dulu sebelum masuk ke inti masalahnya. Perkara kualitas pekerjaan, itu akan menjadi urutan kesekian setelah perkara lain-lain terpecahkan.
Dan masih ada dua meeting lagi sebelum jam resmi kantor, yang sebenarnya tidak pernah berlaku di perusahaan ini, karena selalu pekerjaan seperti tidak ada habis-habisnya.
Fitri, satu lagi masalahku yang paling mendesak hari ini, harus segera aku selesaikan.
“Mas Adit, Nayla tanyakan lagi jadwal meetingnya ya sama Mbak Diana”, tiba-tiba saja Nayla menghentikan lamunanku.
“Makasih Nay, sekalian mumpung kamu lagi baik, pesenin kopi dong ke pantry”
“Oke Boss, beres. Dan Boss, ga usah terlalu dipikirin lah yang tadi diceritain itu, Nay tahu kalau masalah itu emang masalah yang pelik banget, tapi ya menurut Nay, semuanya balik ke Mas Adit sendiri, dan Mbak Fitri tentu aja”, sambungnya.
“Dan kalau menurut Nay nih Mas, ga ada salahnya kok kalo Mas Adit besok ambil cuti terus ke Surabaya nemuin Mbak Fitri, daripada entar berlarut-larut kan”
Ya, pikirku, kemungkinan itu juga sudah aku pikirkan juga tadi sepanjang perjalanan balik ke kantor. Tapi mana bisa aku meninggalkan Jakarta sebelum ketemu lagi sama Sita. Ini yang dia ga tahu, dan ga bakalan ada orang lain selain Sita dan aku sendiri yang tahu kejadian semalam.
Tapi, bagaimana pun juga, si Nay ini sangat dewasa ternyata. Ini aku baru tahu. Setahuku dia hanya sekertarisku yang pintar, lincah, manja, dan beberapa kali secara tersirat memperlihatkan ketertarikannya padaku. Nayla.
Tiba-tiba saja nada SMS masuk hpku bunyi. Dan aku langsung mulas lagi. Dari Pipit atau dari Sita, pikirku. Ternyata Pipit...
Mas Adit, dirutku tadi telepon. Beliau menanyakan kesiapanku, dan aku jawab siap. Cuma td juga ada berita baru, anak perusahaan kita di Taiwan, yg joint venture sama prsh lokal dan gerak di bidang freight forwading, butuh direktur operasional, dan dirutku tanya, apa kira2 Mas Adit tertarik untuk kerja di Taiwan juga. Sgr pertimbangin ya Mas!!!
Aku terkejut. Sangat. Jelas akan ada lompatan besar di karirku kalau aku mau kerja di Taiwan. Direktur operasional perusahaan di luar negeri akan menjadi satu peluang besar untuk karirku di masa depan. Sedikit banyak aku juga sudah punya pengalaman di bidang freight forwading, terutama dalam proyekku dua tahun lalu, proyek untuk pengadaan alat-alat pengeboran KPS Pertamina.
Tapi Sita, sehabis kejadian semalam, rasanya akan sangat sulit bagi aku untuk lepas lagi dari bayang-bayang Sita, wanita impianku itu. Kalau aku penuhi lowongan itu, artinya juga secara tegas aku harus memilih buat kembali lagi ke Pipit.
Dan aku tahu, selamanya aku akan selalu berada di bawah bayang-bayang istriku sendiri. Walau beda perusahaan, bagaimana pun juga, anak perusahaan akan selalu di bawah kontrol induknya, istriku sendiri, sebagai kepala cabangnya. Dan keluarga besar Pipit. Aku tahu pasti kalau bagaimana pun juga keluarga besar Pipit akan lebih meremehkan aku, akan lebih menganggap aku sebagai lelaki yang lemah dibandingkan istrinya sendiri.
Tapi di Taiwan aku ga bakalan berurusan dengan sistem birokrasi dan segala macam tetek bengek urusan klien pemerintah, pikirku. Satu kemerdekaan berekspresi dan berkarir. Tapi Pipit.
Cintakah aku sebenarnya ke Pipit?
Waktu kami menikah dulu, sebenarnya ketertarikanku dengan Pipit jauh lebih banyak didominasi oleh fisik. Fitri Sulistyowati. Walau tidak secantik Sita atau sesexy Nayla, Pipit adalah wanita cantik berwajah Jawa, dengan badan proporsional dan tidak begitu tinggi seperti penari-penari Serimpi di Istana Jogja. Dan Pipit juga yang kemudian menjadi partner dan pengalaman seks ku yang pertama, walau jelas aku bukan yang pertama bagi dia.
Dan dia adalah sahabat sekaligus mantan teman SMA Sita. Sita lah yang setengah menjodohkan aku ke Pipit, itu setelah dengan terang-terangan dia menolak lamaranku. Dan aku kemudian menikahi Pipit. Dengan proses pacaran yang sangat singkat, 6 bulan.
Waktu itu, aku masih ingat, aku setengah membalas Sita.
Cintakah aku ke Pipit? Atau, cintakah Pipit ke aku?
Setahun lebih kami berumah tangga, itu pun kalau bisa disebut sebagai rumah tangga, karena baik Pipit maupun aku, jarang bertemu. Kami lebih mirip orang pacaran jarak jauh. Dalam sebulan, paling hanya 4 hari kami bertemu, terutama setelah Pipit di Surabaya. Dan empat hari dalam sebulan, berapa banyak aku bisa berkomunikasi dengan istriku sendiri. Dalam sebulan, kalau dihitung jauh lebih banyak kata-kata yang aku ucapkan ke Nayla, Sita, bahkan ke Bang Paladen sekali pun.
Dan hubungan kami selama 4 hari itu, kebanyakan adalah hubungan fisik. Pipit, tidak seperti penampilannya yang cenderung lemah lembut dan nJawani, adalah singa di tempat tidur. Selalu mendominasi dan menuntut. Selama ini aku selalu bisa memuaskannya, dan terus terang aku juga puas. Itu sebelum tadi malam.
Pengalaman tadi malam, bukan hanya secara fisik. Aku tahu itu, dan aku yakin Sita juga merasakannya. Penuh kelembutan dan perasaan. Dan cinta? Jauh melebihi kepuasanku terhadap istriku sendiri.
Cinta?
Benarkah sebenarnya Sita mencintaiku?
Penuh kelembutan memang awalnya, walau pun akhirnya juga sangat menggelegak. Tapi sangat berbeda dengan Pipit.
Telepon di mejaku tiba-tiba saja membuyarkan lamunanku. Dari Pak Yudi. Bossku itu akhirnya membatalkan topik meeting jam 3 nanti, tapi menggantikannya dengan topik meeting yang lebih urgent, katanya, perkara usulan proyek ke pemerintah buat tahun depan. Sama saja, meeting tetap meeting apa pun topiknya. Dan sekarang ini aku bahkan sama sekali ga berminat untuk meeting lagi, dengan siapa pun. Apalagi harus mikir untuk ide-ide baru.
Masih bulan Mei, tahun depan masih 7 bulan lebih lagi. Dan si boss sudah mulai ribut bikin usulan kegiatan. Dasar, pikirku.
Dengan malas aku berdiri, jam 3 kurang 5 menit, dan Pak Yudi paling ribut kalau ada yang terlambat datang ke ruangan.
Dan Nayla tiba-tiba masuk lagi ke ruanganku, tanpa blazer, hanya dengan baju sutra hijau muda, yang ternyata you can see. Kecerlangan kulit tubuhnya, dan samar-samar bra hitam di baliknya, tiba-tiba saja membuatku setengah linglung. Juga wangi parfum lembut yang dipancarkan tubuhnya.
Ada apa dengan aku? Ini kan pemandangan biasa dari sekretaris yang tiap hari aku temui, selamanya tidak pernah seperti ini.
Seakan tahu isi pikiranku, Nayla tersenyum setengah kikuk.


Rif, Kota, 15.15-15.50

Aku sangat terkejut.
Dengan panjang lebar, dan detil, Ismail menjelaskan barang apa yang harus aku antar dan bagaimana cara pengantarannya. Sabu-sabu. Dua kata yang diulang itu artinya menakutkanku.
Ismail tahu itu. Setahu juga kalau aku, teman lamanya, tidak akan pernah mengkhianatinya. Tapi ini dari Ismail, temanku yang dulu sangat religius, idealis, bahkan penyayang orang lain. Seakan aku menghadapi dua sosok yang sangat berbeda. Tatap matanya masih Ismail yang dulu, yang kadang tajam tapi juga kadang lembut. Tapi kenapa Ismail?
Dari kedatangan Koh Daniel tadi, aku sudah mulai curiga, tapi sekarang kepastiannya.
”Sebenarnya, kok kamu bisa sampai bisnis seperti ini sih Il?”, tanyaku.
”Yah, ini sebenarnya dulu juga keterpaksaan, sampai gua terus dapat hasilnya yang sangat lumayan. Dan yah, seperti ini. Orang harus hidup kan di Jakarta ini?”
”Dian tahu?”, tanyaku, yang berikutnya kusesali. Apa gunanya aku menanyakan rumah tangga orang lain.
Sambil tersenyum pahit, Ismail menjawab,”Justru dialah yang selalu mendorong gua buat ngelakuin ini semua. Lagian, gua sekarang baru punya bayi, yah, jadi semakin nambahlah kebutuhan”.
Aku kaget. Sebegitukah pengaruh Jakarta, atau lebih tepatnya pengaruh Dian, merubah total semua kepribadian dan idealisme seorang Ismail. Yang menurut cerita yang pernah aku dengar dari teman yang lain, Ismail menangis tersedu melihat bencana tsunami Aceh, dan 2 hari berikutnya langsung berangkat ke Aceh walau pun masih pengantin baru.
Ismail yang sama kemudian bercerita.
Selama bulan-bulan pertama di Aceh, Dian masih bisa mengerti. Bulan ke 3, kata Ismail, Dian sudah mengancam minta cerai kalau Ismail tidak mengirim uang, walau kata Ismail, tabungan selama kerja sebesar 20 juta sudah diserahkan semuanya ke istrinya sebelum berangkat.
Dan bergabunglah Ismail menjadi salah satu pekerja lapangan USAID di Aceh dengan kontrak selama 6 bulan. Selama itu pula dia sempat pulang ke Jakarta, tapi terus menghadapi tuntutan istrinya dalam masalah keuangan.
Akhirnya mulailah Ismail berbisnis ganja di Jakarta, tanaman yang banyak terdapat di Aceh, melalui kontak-kontaknya selama ada disana. Tapi itu tidak cukup. Dengan resiko yang hampir sama, akhirnya dengan kontak-kontak barunya di Jakarta, Batam, Medan, dan Tangerang, mulai lah Ismail berbisnis sabu-sabu, putauw, ectacy, dan sejenisnya. Tapi spesialisasinya sabu-sabu.
Dan Dian sangat mendukungnya, karena mereka sekarang sudah bisa menempati salah satu perumahan real estate di Bogor. Dian, pikirku.
Sekarang aku. Tawaran Ismail, mau tidak mau sangat menggodaku. Dengan uang 3 juta bersih, pendapatan minimalku sebulan jadi kurir dipotong semua pengeluaran, banyak sekali yang bisa kulakukan.
Selama masa menganggurku, sudah banyak rencana di kepalaku kalau aku punya uang sedikit di atas 2 juta. Aku bisa mulai bikin usaha kecil-kecilan, berdagang apa saja, pakaian mungkin, atau DVD bajakan seperti Dino, atau buku, ya, berdagang buku seperti di sekitar Pasar Senen. Aku tahu banyak mengenai buku. Banyak sekali rencana. Siapa bilang orang pengangguran tidak bisa kreatif. Orang pengangguran malah bisa menjadi sangat kreatif, karena setiap hari pekerjaannya cuma melamun dan berkhayal. Tapi semua khayalan di Jakarta butuh modal, bahkan walau Cuma khayalan jorok sekali pun.
Dan Ismail menawarkannya. Dengan hasil keringatku sendiri tanpa belas kasihan seperti tawaran Dino.
”Gimana Rif, untuk kamu gua tahu yang lagi kurang duit, gua tambahin deh buat yang pertama, 750 rebu selain ongkos transport?”, tanyanya tiba-tiba.”Kalau lu oke, ke tempat pengambilan barang terus antaran pertama gua temenin, yang laen lu jalan sendiri. Ini training gua langsung di lapangan”.
Kepalaku semakin berputar-putar. Malam ini 750 ribu, entah kapan lagi aku bisa dapat uang segampang ini. 750 ribu, dengan resiko yang sangat minimal, seperti kata Ismail. Semua utangku di warung mPok Jum plus kontrakan bulan ini bakalan selesai masalahnya. Dan aku masih punya sisa uang buat dikirim ke Pasuruan. Semuanya hanya dengan kerja semalam.
Tapi terbayang wajah adik-adikku, dan terutama ibu, bisakah aku mengirim uang ke mereka dengan jalan haram semacam ini. Aku tahu, ibuku adalah orang yang paling taat beragama dari semua orang yang pernah aku temui, termasuk ayahku.
Aku bingung. Sangat bingung.
Sita, RS. MMC, Jl. Rasuna Said, 15.30-16.45
Saya akhirnya sampai ke rumah sakit. Menurut informasi Sukamah via telepon, Latifa dirawat di sana. Rumah sakit yang sama, tempat ibu saya meninggal dulu. Rumah sakit yang sebelumnya selalu saya hindari.
Dari Rawamangun ke MMC, saya naik taksi, sendiri. Saya merasa tidak akan kuat untuk menyetir mobil sendiri. Untung jalan cukup lancar. Nur dan Zsa Zsa saya tinggal di rumah. Bagaimana pun, saya masih cukup waras untuk berpikir bahwa rumah sakit bukan tempat anak kecil seperti Zsa Zsa, biar pun kakaknya dirawat disana.
Dengan membawa dua tas untuk keperluan menginap saya, pakaian Latifa, dan beberapa buku bacaannya, akhirnya saya sampai ke ruang VIP untuk rawat inap anak-anak. Ruang anggrek nomor 7. Ada di pojok. Ketemu, saya buka pintunya pelan-pelan. Latifa menangis tanpa suara, tangannya diinfus.
Dan lelaki itu ada di sana. Memegangi tangan kanan Latifa, sedang tangan kirinya, ada perempuan berambut pendek yang memeganginya. Bukan Sukamah. Istri lelaki itu. Mantan suami saya. Dan si perempuan penggoda suami orang. Istrinya.
”Latifa”, hanya satu kata itu saja, dan saya tanpa menghiraukan dua manusia yang memegangi tangan kanan kirinya, menghambur memeluk Latifa. Saya menangis lagi, tanpa suara.
”Bunda jangan pergi, Tifa pingin pulang Bunda”, bisiknya.
Saya hanya bisa menangis. Menangis.
Saya, lelaki itu, dan istrinya, kami hanya manusia-manusia kotor di depan anak kecil tanpa dosa.
Dan saya yang paling hina, meninggalkan darah daging sendiri yang sakit, bersetubuh dengan lelaki lain, suami sahabat sendiri. Lebih hina dari lelaki itu dan istrinya.
Saya peluk Latifa, sampai akhirnya saya sadar kalau itu hanya akan menambah panas suhu tubuhnya. Dengan pelahan, saya akhirnya mulai bisa berpikir jernih lagi. Saya baru sadar, kalau istri lelaki itu, berdiri dan meninggalkan kursi yang didudukinya, memberi kesempatan saya untuk memeluk Latifa.
”Sakit apa menurut dokter?”, empat kata itu saya ucapkan dengan nada yang sepertinya bukan suara saya sendiri. Ini adalah 4 kata pertama yang saya ucapkan ke lelaki itu setelah sidang terakhir di Pengadilan Agama yang mengabulkan tuntutan cerai saya, termasuk memberikan hak asuh sepenuhnya ke 2 anak saya.
”Kemungkinan thypus atau demam berdarah”, jawabnya tanpa memandang saya sedikit pun, hanya memandang Tifa dan mengelus kepalanya.
Dan ada jeda panjang. Panjang sekali.
Saya tidak tahu harus bicara apa. Sepertinya lelaki itu juga seperti itu. Ada sesuatu yang tiba-tiba timbul lagi di hati saya.
Kemarahan.
Satu hal yang saya pendam dan berusaha singkirkan selama 2 tahun terakhir muncul lagi. Tiba-tiba saja saya ingin melemparkan semua yang bisa dilemparkan ke arah wajahnya.
Lelaki yang pernah saya cintai. Sangat saya cintai, dan mungkin saya tidak akan pernah mencintai lelaki lain sebesar cinta saya kepadanya. Tapi juga lelaki yang paling saya benci.
Wajahnya, masih tetap sama, meski ada beberapa guratan umur mulai terlihat. Wajah klasik tampan orang-orang daerah timur negeri ini. Dan sekilas ada tatapan penderitaan waktu saya lihat matanya tadi.
Penderitaan? Saya dan anak-anaklah korbannya. Bukan dia. Dia bersenang-senang, kemudian menghamili anak buahnya sendiri. Bukan dia yang harus membesarkan dua anak berumur 5 dan 2 tahun yang ditinggalkannya, bukan dia. Sayalah yang harus menjadi ibu dan sekaligus ayah bagi anak saya. Dan saya juga yang membesarkan mereka, meninabobokkan, dan menghiburnya waktu mereka sakit.
Sampai tadi malam. Rasa nyeri kembali menghunjam perut saya.
Saya lihat Latifa mulai bisa tidur. Mungkin dia tadi hanya menunggu saya, ibunya. Ayahnya mungkin sudah menjadi orang asing baginya, walau beberapa bulan terakhir selalu ditanyakannya.
”Kemana saja semalam?”
Pertanyaan itu tiba-tiba saja datang. Pertanyaan yang saya takuti. Dari siapa pun, termasuk dari lelaki pengkhianat ini. Yang bertanya tanpa memandang sedikit pun wajah saya, sambil menyeka keringat di kening Tifa dengan tisu.
Sebelum menjawabnya, saya perhatikan sekeliling. Sukamah, yang saya lihat sekilas tadi duduk di pojok ruangan sudah tidak ada. Begitu juga perempuan penggoda itu, istri lelaki ini. Mereka mungkin keluar ruangan, memberi privacy buat kami bertiga.
”Kemana saja semalam? Sampai tadi pagi kamu juga masih belum ada di rumah”, lanjutnya dengan nada tetap datar. Berdasarkan pengalaman saya dengan lelaki ini, nada datar akan selalu diucapkannya bila emosinya tinggi. Dia marah? Sayalah yang seharusnya jauh lebih marah. Ini semua tidak akan pernah terjadi kalau dia tahan menerima godaan anak buahnya. Tidak ada hak bagi dia untuk memarahi atau menuduh saya.
”Ada konsinyering mendadak di luar kota, dan itu bukan urusanmu”, desis saya penuh emosi. Walau begitu saya masih tetap sadar kalau di antara kami ada Latifa, darah daging kami, yang sedang sakit parah dan panas tinggi.
”Pergilah. Aku sudah datang. Latifa sudah tidak membutuhkanmu sekarang”, desis saya lagi, setengah takut terdengar Latifa yang tidur.
Dengan wajah setengah menahan amarah dan mungkin juga emosi yang lain, lelaki itu kemudian mencium kening Latifa dan berdiri, lalu berjalan keluar.
Masih tetap seperti dulu, masih pongah dan angkuh bahkan hanya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada saya, mantan istri yang pernah dicintainya dan sangat disakitinya, sampai sekarang. Masih juga sepongah waktu saat terakhir di pengadilan agama yang memutuskan hak perwalian kedua anak saya sepenuhnya jatuh ke tangan saya, tanpa campur tangan sama sekali dari ayahnya. Tidak pernah meminta, apalagi memohon sesuatu, sifat yang pernah juga mengagumkan saya di awal-awal perkenalan dan kemudian pernikahan.
Dan istri lelaki itulah,si perempuan penggoda, yang akhirnya mengucapkan selamat tinggal dengan masuk lagi ke kamar perawatan Latifa, yang hanya saya jawab dengan anggukan kepala. Saya cukup terkejut ketika sekilas melihat wajahnya, mirip sekali dengan tatapan lelaki itu, wajah orang yang menderita.
Tinggal saya, Sukamah yang kemudian masuk dan duduk di sofa pojok ruangan, dan Latifa. Maafkan bunda Tifa, maafkan bunda, saya bisikkan kata-kata itu berulang-ulang di telinga mungilnya. Sebagian memang agar dia tahu kalau bundanya minta maaf karena meninggalkannya semalam, dan sebagian terbesar lagi karena penyesalan saya yang datang kembali.
Sayalah yang bersalah sampai semua ini terjadi. Kembali saya menangis tanpa suara.
Andai lelaki itu tidak pernah tergoda.....
Aditya, Gedung GKBI Sudirman, 16.00-16.40
Meeting itu akhirnya selesai. Dan dalam meeting itu, tak ada satu pun ide-ide segarku, yang biasanya sangat ditunggu dan dihargai direksi maupun kolegaku, keluar. Semuanya mampet. Pembicaraan selama meeting itu pun di dominasi oleh ide-ide, yang sebenarnya menurut aku masih sangat mentah, general manager lain yang memang selama ini seakan menjadikan aku saingan terberatnya di depan direksi.
Aku buka lagi catatan meeting tadi, suatu kebiasaanku akhir-akhir ini setelah ditegur oleh direksi karena tidak pernah membawa satu carik kertas pun selama meeting. Aku baru sadar, selama meeting 1 jam tadi aku hanya menulis 3 kalimat, itu pun hanya kalimat-kalimat pembuka Pak Yudi yang menjelaskan tujuan meeting. Selebihnya hanya ada 2 nama yang kutuliskan berulang-ulang dengan bermacam gaya, Sita Purnamasari dan Nayla Evananda.
Satu halaman penuh. Dan hanya 2 nama itu, ga ada nama Fitri.
Aku menghela nafas, separah inikah perasaanku terhadap istriku sendiri? Bahkan alam bawah sadarku pun tidak ada memory namanya. Tapi kenapa ada nama si Nay?
Dengan setengah malas aku menghidupkan notebookku lagi. Masih ada beberapa pekerjaan, dan terutama beberapa email yang harus kubalas segera. Aku switch on juga microsoft outlookku. Berlomba-lomba puluhan email masuk. Dan kemudian melambat, ada email dengan attachment yang lebih dari 3 megabyte masuk.
Aku terkejut. Dari Pipit. Fitri. Titlenya: Seven Seas.
Attachmentnya berupa data-data lengkap kinerja perusahaan Seven Seas Limited, ditambah company profilenya. Dan mulai aku baca emailnya.
Mas Adit,
Ini data yang dikirimkan dirutku untuk Mas pertimbangin. Menurut aku ini kesempatan yang sangat bagus, buat Mas Adit dan juga buat aku. Kesempatan yang tidak akan datang 2 kali. Aku juga sudah baca, perusahaan ini sangat sehat, dan punya prospek pengembangan usaha yang sangat bagus.
Sebagai Direktur Operasional, Mas Adit nanti juga bertanggung jawab terhadap cabang Seven Seas yang di Hongkong. Bayangkan saja Mas, dan terakhir, sebagai Direktur Operasional, gaji Mas Adit akan sekitar US$ 150,000 per tahun, belum termasuk tunjangan lain-lain. Sangat lumayan kan, apalagi dibandingkan dengan pekerjaan yang sekarang.
Tolong pertimbangkan bener ya Mas. Kita benar-benar bisa memulai hidup baru disana.
Salam sayang,
Pipit
Aku menghela nafas panjang lagi. US$ 150,000 itu hampir 8 kali lipat gajiku yang sekarang. Termasuk tunjanganku sekarang, itu sekitar 6 kali lipat yang kudapat, dan tanpa mengemis dan menghiba proyek ke orang-orang pemerintah itu.
Satu tawaran yang sangat luar biasa.
Dan kemudian, aku lihat baris-baris terakhir email itu. Ternyata masih ada NB. NB yang hampir sama pajang dengan isi email utama. Khas Fitri.
NB.
Oh ya mas, tadi aku sempat telepon Bapak-Ibu, juga Mas Edi. Mereka sangat mendukung kalau kita pindah ke Taiwan. Malah mereka juga sangat mengharapkan kalau aku bisa hamil dan melahirkan di sana, lucu kata Ibu, moga-moga cucuku nanti seperti artis sinetron Taiwan J.
Juga aku sudah telepon mBak Tia dan Mas Tonny, aku kabarkan kabar gembira ini. Mereka sangat setuju kok…
Aku lagi-lagi hanya bisa menghela nafas lagi. Bahkan aku belum sempat memikirkan dengan serius setuju atau tidaknya, tapi lagi-lagi dengan gaya “pushy” nya tapi tetap dibalut keanggunan wanita Jawa, Pipit sudah minta persetujuan, yang artinya juga dukungan buat dia, ke keluarganya maupun keluargaku, Mas Tonny dan Mbak Tia. Aku yakin mereka pasti juga setuju, karena memang kelihatannya hidupku dan Pipit rukun-rukun saja.
Di Taiwan, benar-benar hidup bersuami istri, dengan Pipit. Inilah yang menjadi bahan pertimbangan utamaku. Sampai sekarang aku bahkan belum tahu, sebenarnya perasaanku ke istriku sendiri.
Benarkah dia mencintaiku? Kalau senang mengaturku jelas. Bahkan setiap kali dia datang, seluruh lemari bajuku selalu diacak-acaknya. Dia akan selalu menyiapkan seluruh pakaianku dari Senin sampai Jum’at. Mulai pasangan celana dan baju, sampai pakaian dalam dan kaos kaki. Bahkan hampir setiap jam, kecuali hari ini, dia selalu mengirim SMS, mengecek aktivitasku, apa yang kulakukan, makan atau meeting dengan siapa, dan terutama apa Sita ada di sekitarku.
Sita, Pipit tahu persis kalau aku pernah melakukan pendekatan dan bahkan meminta Sita jadi istriku. Dan secara terus terang, dia pernah bilang kalau mesin memoryku selalu ada Sita. Satu hal yang tak bisa kupungkiri. Berkali-kali malahan dalam setahun ini Pipit menyarankan aku untuk pindah pekerjaan, walau dia tahu kedudukan maupun gajiku cukup bagus disini, juga kemungkinan karir di masa depan.
Pertengkaran hebat kami yang pertama pun juga dipicu kecemburuan Pipit terhadap Sita, sahabatnya sendiri. Waktu itu aku ada rencana meeting dengan calon klien ke Singapura, dan harus menginap. Sita dan akulah wakil perusahaan. Pipit yang waktu itu ada di Jakarta, sampai menangis histeris tidak setuju. Dan akhirnya aku memang tidak jadi berangkat, aku minta ijin sakit waktu itu sampai 3 hari, yang sebetulnya hanya alasan untuk menutupi bekas cakaran kuku istriku di pipi dan keningku.
Padahal Pipit juga tahu kalau Sita selamanya tidak ada perasaan apa-apa ke aku. Jelas akulah yang dikhawatirkannya, bukan sahabatnya itu.
“Mas, meeting jam 5 dibatalkan. You free to go anywhere you like”, tiba-tiba saja Nayla masuk ke ruanganku.
“Oh ya? Terus, kapan dijadwal ulang, kan harusnya besok pertemuan kita dengan Departemen Perindustrian”
“Justru itu, orang-orang Departemen seperti biasa tiba-tiba saja mengundurkan waktunya jadi hari Kamis siang pertemuannya”, kata Nayla sambil menarik kursi dan langsung duduk.
“Apa perlu Nay pesankan tiket ke Surabaya buat malam ini?”, tanyanya.
“Surabaya? Emang dipercepat ya jadwal ketemu sama PJB?”, tanyaku kurang mengerti.
“Lho kan, katanya Mas Adit ada urusan penting sama Mbak Fitri, kalau saran Nay sih Mas, mending ngambil cuti aja gih, biar ga manyun terus kayak orang bengong gitu”
“Emang ga perlu ke Surabaya, mumpung besok ga ada jadwal penting lho”, lanjutnya lagi.
Aku masih berpikir-pikir. Dan seperti biasa, Nayla tahu persis kalau aku bimbang. Wajahku memang selalu bisa ditebak, apalagi buat si Nayla yang sehari-hari memang sangat dekat denganku.
“Ada apa lagi Mas, cerita dong kayak tadi” katanya. “Mas kan tahu, selain sebagai boss, Mas juga sudah seperti kakak buat Nay. Nanti kalau Mas sedih, pasti Nay juga ikut sedih”
Sesuatu yang salah memang, membiarkan hubungan antara atasan dengan sekertarisnya sampai ke masalah pribadi. Bahkan 3 orang anak buahku yang lain, para manajerku, apalagi para enjinerku tidak pernah bisa sedekat hubungan antara aku dan Nayla, meski salah satu dari mereka juga wanita.
Akhirnya aku ceritakan perkembangan terakhir, termasuk SMS dan email Pipit mengenai tawaran pekerjaan itu. Memang Nayla tidak pernah bisa akrab dengan istriku, yang pernah juga beberapa kali datang ke kantor. Tapi tanggapan dari Nayla yang membuatku terkejut. Kalau tadi di Hotel Sahid dia ikut bersimpati mendengar ceritaku, sekarang malah kelihatan jelas kalau dia marah. Marah?
“Jadi, apa keputusan Mas? Menerima tawaran yang menggiurkan itu?”, tanyanya dengan nada agak tinggi.
“Terus terang Nay, aku masih bingung. Aku tadi juga sudah cerita kan, kalau aku pindah ke Taiwan, aku juga harus nyiapin semuanya, termasuk nyelesaiin pekerjaan-pekerjaan disini”
“Dan menjadi semakin diatur sama Mbak Fitri”, potong Nayla tiba-tiba. Yang membuat aku terkejut, dan kemudian Nayla sendiri terkejut. Satu kalimat yang sudah sangat di luar batas, baik sebagai teman, dan apalagi sebagai bawahan ke atasannya.
Tiba-tiba saja Nayla berdiri, dan sikapnya menjadi sangat formal.
“Maaf Pak, masih ada beberapa pekerjaan saya yang belum selesai”, katanya sambil berdiri dan siap melangkah keluar ruangan, dan aku lihat matanya sudah siap nangis lagi.
Aku cuma bisa mengangguk. Apa lagi yang bisa kukatakan?
Tiba-tiba saja hpku berbunyi lagi. Ada SMS. Pasti Pipit, pikirku, atau orang Perindustrian. Sita.
Dit, tolong untuk meeting besok pg dg Perindustrian, file2 usulan gw ada di PC. Nama filenya Deprin2. Sekalian bilang ke Pak Yudi klo gw ijin 3 hr. Tifa dirawat di MMC.
Tifa? Latifa anak pertama Sita pasti. Dirawat?
Langsung aku coba telpon ke hp Sita. Mailbox,veronica lagi.






Rif, Kota, 16.15-16.50


Sabu-sabu. Berkali-kali 2 kata berulang itu ada di kepalaku. Dan Ismail membiarkan aku merenung. Dia pasti tahu, sangat berat bagi aku buat memutuskan hanya sekedar ya atau tidak saja.
”Gua dulu juga seperti lu Rif, malahan berhari-hari gua mikirinnya. Ga adil juga kalo gua sekarang tanya lu mau atau ga, trus langsung ngajak lu ke lapangan”, kata Ismail.
Aku masih tetap diam saja. Aku yakin sebenarnya, kalau aku terus terang ke Ismail keadaan keuanganku, dia pasti mau bantu. Minimal meminjamkan uang. Tapi jelas aku hanya akan mengandalkan belas kasihannya.
”750 ribu malam ini”, gumamku tanpa sadar.
”Ya, 750 ribu malam ini, moga-moga saja hari-hari berikutnya lebih banyak pesanan”, timpal Ismail.
750 ribu. Bahkan aku yakin Ismail tak tahu arti besarnya uang itu buat aku. Tapi resikonya? Dan dosanya?
Biarlah, kalau dosa toh Tuhan tahu aku sedang kepepet. Tuhan akan selalu tahu kalau aku tidak pernah meminta untuk jadi pengangguran tanpa uang seperti ini. Tapi resiko?
Tanpa dijelaskan Ismail pun aku tahu kalau resiko pekerjaan-pekerjaan seperti ini akan sangat berat. Ismail pasti juga maksimal hanya orang-orang di skala tengah sampai bawah di bisnis ini, sama sekali bukan boss besar. Aku akan berada di bawah Ismail, mungkin bukan yang paling bawah, tapi pasti akan tetap jadi pion. Tidak lebih. Dan pion, seperti dalam catur, selalu mati atau diumpankan lebih dulu.
Resiko lain yang paling berat kalau tertangkap adalah kehilangan masa depan. Selain jadi pengangguran, cap mantan pengedar sabu-sabu bisa menyebabkan aku jadi pengangguran abadi. Belum lagi kalau seluruh keluargaku tahu.
Tapi jumlah uang itu sangat menggiurkan. Sebanding dengan resikonya, dan hanya semalam.
”Il, kalau aku cuma malam ini saja kerja sama kamu gimana?”, tiba-tiba saja aku memutuskan, dan membuat Ismail terkejut. Akhirnya dia tahu, kondisi keuanganku dan pendapatku mengenai tawarannya.
”Begini aja bro, kalo emang lu ga minat kerja sama aku, kaga apa-apa. Gua dan lu tahu kalo ini malahan bukan pekerjaan”
”Kalo lu emang butuh banget duit, gua pinjemin dah, nih gua pinjemin 500 rebu, lu boleh ngembaliin kapan aja lu punya duit”
Sekali lagi ada orang yang berbelas kasihan dengan aku, sarjana pengangguran yang memang butuh uang. Tapi aku tidak butuh itu. Aku masih punya cukup harga diri untuk tidak minta dikasihani. Dan Ismail sebenarnya juga tahu itu. Selama persahabatan dan pertemananku dengannya dulu, tidak sekali pun aku pernah minta bantuan darinya.
Lain dari itu, Ismail juga tahu persis kalau aku tidak pernah membuka rahasia teman. Rahasia apa pun. Justru itu yang mungkin sangat dibutuhkan dari aku di bisnisnya ini. Kalau perkara kurir, apalagi dengan imbalan yang buat ukuranku saat ini sangat tinggi, aku yakin akan bisa ditemukannya dimana saja. Di Jakarta, orang yang butuh duit jauh lebih banyak dari orang yang kelebihan duit.
”Gini aja deh Il, aku emang sangat butuh duit. Kamu butuh kurir. Gimana kalau aku janji kerja sama kamu selama seminggu ini. Ntar kita lihat lagi”, akhirnya aku memutuskan. Sangat berat memang, tapi kebutuhan perutku dan kebutuhan keluargaku di Pasuruan itu juga satu kenyataan yang harus aku hadapi.
Dengan serta merta, Ismail langsung memelukku dan kemudian menjabat tanganku.
”Orang-orang seperti kita emang harus saling bantu bro, saling bantu. Ga ada lain kalau emang masih mau hidup di kota ini. Aku janji, resiko emang ada, tapi minimal sekali”, katanya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya mengangguk. Ini memang mungkin satu lagi tahapan hidup yang harus aku lalui, pikirku sedih. Jadi kriminal.
Kemudian, dengan pelan dan penuh gaya, Ismail menarik lembaran-lembaran uang dari dompetnya. Tujuh lembar 100 ribuan. 6 lembar 50 ribuan. Rp. 1.000.000, upah dan ongkos transportku malam ini, karena memang kata Ismail lebih baik menggunakan kendaraan umum atau ojek daripada mobil atau motor pribadi yang mudah dihapalin nomornya.
Aditya, Sudirman-MMC, 17.20-18.10
Yakinkan aku TuhanDia bukan milikkuBiarkan waktu waktuHapus aku?
Refrain Nidji itu dari tadi terus dinyanyikan Nayla. Hanya 4 kalimat itu, tapi terus diulang. Lirih.
Aku yang di sebelahnya, menyetir mobil, sibuk dengan pikiranku sendiri. Sita, dan Fitri. Sebentar lagi aku ketemu Sita setelah semalam. Seperti apa reaksinya, pikirku.
Nayla, setelah aku beritahu juga kalau anak Sita dirawat di MMC, kontan meminta ikut. Aku ga bisa nolak. Nayla sangat akrab dengan Sita, meski aku ga pernah tahu mereka bersahabat atau tidak. Umur mereka berbeda sekitar 5-6 tahun, dan Nayla memang sepertinya menemukan sosok kakak di balik penampilan Sita yang tegas dan dingin di kantor.
Sadarkan aku TuhanDia bukan milikkuBiarkan waktu waktuHapus aku?
Lalu lintas di depan kelihatan padat sekali. Dari Semanggi aku sengaja memilih jalur Jl. Casa Blanca untuk ke MMC di Jl. Rasuna Said. Ternyata pilihanku keliru. Aku menghindari kemacetan Jl. Gatot Subroto justru terjebak di kemacetan Casa Blanca. Aku lupa kalau ini hari Senin, hari yang paling susah ditebak daerah kemacetannya.
“Nay, kita ga bawa apa-apa nengokin anak Sita?”
Dengan suara setengah mengantuk, Nayla menjawab,”Jangan kuatir Pak, saya kan sekertaris yang baik, udah saya belikan tadi, nyuruh office boy, 5 majalah anak-anak terbaru dan komik. Tifa kan suka baca”.
Pak?
“Kok tumben kamu panggil Pak di luar kantor Nay?”, tanyaku tiba-tiba, yang menghentikan gumaman lagu Nidjinya.
Nayla diam.
Lama, baru dia jawab,”Percuma Pak, Pak Adit kan ga pernah nganggap Nay lebih dari sekertaris pribadi. Teman pun ga”.
“Nay selalu cerita masalah Nay, mulai dari masalah sama teman di kantor, masalah sama mama, malah sama cowok. Tapi Pak Adit, Pak Adit selamanya selalu resmi ke Nay”
Nayla mulai menangis lagi.
Jalan masih macet. Mobil kami masih merambat, tapi langit mulai gelap. Agak mendung dan memang matahari sudah mulai tenggelam.
Aku paling tidak bisa memang melihat air mata wanita. Istriku sendiri pun, selalu bisa mengalahkan aku dengan air matanya.
Otomatis, aku tarik lembut dengan tangan kiri, bahu dan kepala Nayla. Dia akhirnya menangis di bahuku, lalu di pahaku.
Aku tahu persis perasaannya, persis seperti yang aku rasakan ke Sita.
Dan, di sela-sela isaknya, aku elus lembut rambutnya. Rambut sekertarisku sendiri. Selama ini yang tak pernah aku lakukan. Aku selama ini selalu menjaga jarak dengan sekertarisku sendiri.

Jakarta IV

kau katakan
Jakarta terang di waktu
malam

TIDAK!!!

ini kelam
k e l a m

Senja menjelang malam di Jakarta, adalah saat wajah kota seperti itik buruk rupa menjadi angsa cantik. Carut marut dan tumpukan sampah siang hari, mendadak tertutup sinar cerah dan lembut pertokoan, hotel, dan mall, serta sinar terang lampu jalanan.
Jakarta adalah lampu besar. Sangat besar. Dan penduduknya adalah jutaan laron-laron yang terbang mengelilingnya, kadang selamat, tapi lebih banyak yang mati terbakar sayap dan tubuhnya.
Dan dimana warga Jakarta waktu malam? Jakarta saat senja menjelang malam adalah pengulangan adegan antrian. Antrian bis, metromini, angkot, dan mobil pribadi, ada di setiap ruas jalan.
Wajah-wajah lelah dan stress berjejal menunggu angkutan umum di pinggir jalan. Tak ada lagi semangat dan bau minyak wangi pagi hari tadi. Pria-wanita berebutan di setiap jurusan yang ditunggu.
Mobil, bis, angkot, metro mini, bahkan sepeda motor, berebut sakti. Semua ingin cepat pulang ke anak istri.
Di bagian lain kota, lampu-lampu mulai bercahaya. Ribuan bahkan puluhan ribu pekerja malam Jakarta mulai berdatangan ke tempat kerja. Cafe-cafe, mall-mall, dan berbagai pusat hiburan malam mulai bercahaya.


Aditya-Sita, MMC, 18.10-19.00

Pintu keempat sebelah kiri, di lantai 2. Itu petunjuk yang aku dapat dari resepsionis rumah sakit MMC. Sudah sekitar 6 bulan sejak terakhir kali aku datang kesini lagi.
Terakhir kesini adalah waktu aku dan Fitri periksa masalah kesuburan. Aku juga yang harus memaksa dia untuk periksa, karena terus terang aku sangat ingin punya anak. Dan Fitri, kayaknya masih lebih suka untuk hidup tanpa anak, bagi dia, karir adalah segalanya.
“Pak, kok saya ditinggalin”
Tanpa sadar aku melangkah terlalu cepat dibandingkan dengan langkah Nayla, yang masih saja memanggilku Pak dan ber “saya”, yang berjalan mengikuti di sebelah kiriku.
Ada yang mendorongku buat cepat sampai. Bukan Latifa, anak Sita, tapi justru Sita sendiri. Setelah semalam, seharusnya semua berubah. Tapi SMS dari Sita itu. SMS yang jauh dari harapanku. Lebih dari segalanya, aku memang ingin ketemu Sita lagi. Ingin melihat reaksinya. Apakah memang SMS itu sesuai dengan apa yang ada di hati dan pikirannnya.
Dan pintu keempat sebelah kiri. Aku berdiri mematung persis di depan pintu itu, bahkan untuk melihat apa yang ada di dalam kamar lewat kaca kecil memanjang di pintu itu pun aku ragu.
Dengan sebat, Nayla yang sebelumnya ada di belakangku bahkan lebih dulu mengintip kemudian langsung membuka pintu itu.
Sita ada di ujung kepala tempat tidur Latifa. Sedang memeluknya sambil menangis.
Sita-Aditya, MMC, 18.10-19.00
Tiba-tiba saja Nayla masuk ke kamar rawat inap Latifa, dan tiba-tiba saja dia memeluk saya. Tapi bukan Nayla yang mengagetkan saya, tapi seseorang di belakangnya, Aditya.
Pria itu! Pria yang tadi malam bersetubuh dengan saya, memeluk saya!
Saya pasti kelihatan sangat kaget, karena setelah melepaskan pelukannya ke saya, dan ganti mencium pipi Latifa, Nayla berkata, “Ngomong dong mbak kalau Tifa sakit, jadi Nay tahu. Ini Mbak ga ngomong apa-apa, malah jadi kayak orang yang kena penyakit bisu mendadak”
“Sit, Latifa baik-baik aja kan”
Terus terang saya masih agak shock. Dua laki-laki yang pernah bersetubuh dengan saya, dan yang terakhir ini malah baru tadi malam, tanpa saya duga dalam hitungan waktu yang berdekatan tiba-tiba saja menemui saya.
Yang pertama lelaki yang mengkhianati saya, sedang laki-laki yang satu ini, yang menyebabkan saya merasa sangat bersalah. Bersalah pada diri sendiri yang begitu lemah, bersalah pada kedua anak saya sendiri, dan terutama bersalah pada Tuhan.
Lelaki yang menyebabkan saya merasa menjadi orang yang paling kotor sedunia!
“Baik, Latifa panasnya sudah mulai turun”
Nayla, cewek centil yang boleh dikata adalah teman wanita saya satu-satunya di kantor yang saya tahu juga sangat memuja Aditya, mungkin sangat merasa kalau jawaban saya terlalu pendek, terlalu resmi. Dia mungkin merasa kalau saya bahkan menjawab dengan terbata-bata dan kaku sekali.
Sedangkan lelaki itu, Aditya, hanya berdiri sambil mengelus rambut Tifa.
“Kok sama sekali ga ngomong sih Mbak, mulai kapan Tifa masuk rumah sakit? Kalau ngomong kan dari tadi Nay datang kesini, dan mungkin bisa bantuin Mbak Sita”
”Siang tadi. Jam 12 siang”
Kembali saya dengar jawaban saya sendiri yang kaku, bahkan mungkin terdengar sangat kering.
Nayla mungkin merasakannya. Aditya hanya diam saja.
Kemudian, diam yang panjang.
Sangat panjang.
Aditya-Sita, MMC, 18.10-19.00
Ternyata aku ga bisa ngomong apa-apa. Padahal banyak sebenarnya, banyak sekali, yang ingin aku tanyakan.
Selain keadaan Latifa, aku juga mau tanya SMS nya tadi, keadaannya hari ini, apa perasaannya ke aku, malah aku juga ingin tanya, bagaimana dan kapan dia tahu kalau anaknya sakit, siapa yang membawanya ke rumah sakit, naik apa dia tadi dari apartemenku ke rumahnya, dan banyak lagi pertanyaan.
Sita mungkin juga merasakan hal yang sama denganku.
Tapi aku hanya diam. Sita juga diam.
Pandangannya menunduk ke arah kepala Latifa. Tapi sekilas aku lihat tadi, pandangannya ke aku dingin, sangat dingin, lebih dari yang aku rasakan selama ini.
Dan aku tahu apa arti SMS tadi. Semuanya aku tahu artinya.


Sita-Aditya, MMC, 18.10-19.00


“Ke rumah sakitnya tadi jam berapa Mbak? Sama siapa?”
Nayla yang sepertinya mencoba untuk mengurangi kebekuan, menanyakan ke saya hal yang paling memalukan saya seumur hidup. Jam berapa dan sama siapa Latifa masuk dan diantar ke rumah sakit.
“Jam 12. Aku sama Sukamah yang ngantar”
Kebohongan. Saya sama sekali tidak bisa menjawab secara jujur. Terlalu konyol memang. Saya, ibunya sendiri, semalaman tidur dengan lelaki lain, lelaki yang sekarang mematung berdiri di depan saya, sedang anaknya sakit ditunggu pembantu di rumah, sendirian, tanpa ibunya.
Jawaban yang terlalu pendek. Terlalu ragu. Karena saya memang bukan pembohong yang baik.
Dan jeda panjang lagi.
Tiga orang, mengelilingi tempat tidur rumah sakit dengan seorang anak kecil yang lagi tidur di atasnya.
Dan semua diam.


Aditya, MMC-Permata Hijau 19.30-20.30

Mengantar Nayla pulang ke apartemennya. Aku tidak bisa membiarkan dia sendiri pulang. Bukan kebiasaanku.
Selama ini bahkan aku tidak tahu sama sekali kalau dia tinggal di apartemen. Setahuku dia cuma pernah ngomong kalau tinggal di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Di mobil, kami saling diam, sampai akhirnya Nayla bertanya.
“Ada apa sih Mas Adit? Kok sepertinya Mbak Sita tadi sedih sekali. Lebih sedih dari yang pernah Nayla lihat waktu Tza-Tza sakit kena demam berdarah parah tahun lalu. Kenapa sih? Dan Nay lihat tadi Mas Adit juga sangat kaku, diam aja. Kalian lagi berantem ya?”
Nay tiba-tiba saja memanggilku mas lagi. Pertanyaan Nayla yang sangat perhatian dan “care”, membuat aku lagi-lagi merasa kalau aku belum mengenal jauh sifat-sifat gadis cantik di sebelahku ini.
Aku hanya diam. Perhatianku aku pusatkan pada lalu lintas padat di Gatot Subroto di depanku. Tapi pikiranku kemana-mana.
“Mas Adit, ngomong dong. Atau Nay turun sini aja”
Aku ga tahu, apa yang harus aku omongkan. Perhatianku terpecah, Nay yang tiba-tiba saja ngambek di sebelahku, Sita, dan lagi-lagi Fitri, dan jalanan di depanku yang berjejal motor dan mobil.
“Awas Massss!”
Aku tersadar, tapi sedikit terlambat. Ada motor yang menyilang di depan mobilku tiba-tiba dari arah kanan. Aku sedikit terlambat mengerem. Ban belakang motor itu kena ujung bemper kiri mobilku. Gubrak!
Motor itu jatuh di depanku, dan pengemudinya untungnya jatuh ke aspal dan tidak terlindas ban mobilku atau ketabrak motor lain dari sisi kiri.
Dan aku akhirnya terpaksa sadar. Aku di dalam mobil. Di sampingku ada perempuan, sekertarisku, Nayla. Dan aku menabrak pengendara sepeda motor.
Seketika aku menepikan mobil. Nayla memegang erat lengan kiriku.
“Jangan turun Mas”, katanya.
Tapi tidak. Aku harus turun. Aku harus tahu keadaan pengendara sepeda motor itu. Aku tahu, Nayla mungkin takut aku dikeroyok atau apa. Dengan halus, aku lepas tangan Nayla dari lenganku.
Begitu aku keluar dari mobil, tiba-tiba saja tiga tangan, dua di kanan dan satu di kiri, memegang lenganku. Ada beberapa orang yang berkerumun. Ini mungkin yang paling dicemaskan oleh Nayla.
Secara naluri, aku kibaskan dua tangan yang memegangi lengan kananku, sambil berkata,”Ada apa ini Pak, justru dia yang memotong di depan mobil saya”
“Bapak bersalah sudah menabrak. Bapak harus tanggung jawab”
“Saya turun ini kan karena saya mau bertanggung jawab Pak. Tapi coba bapak-bapak bantu dulu pengendara motor yang jatuh tadi” jawabku agak emosi.
Dengan mengabaikan orang-orang yang mengerumuniku, aku langsung jongkok dan memeriksa keadaan. Sepasang anak muda, kelihatan masih berumur pertengahan duapuluhan, mengerang-erang kesakitan di trotoar jalan. Pengemudinya, si cowok, kelihatan hanya lecet-lecet saja, tapi pemboncengnya, si cewek, berdarah-darah di betis dan lututnya. Kelihatannya tidak terlalu parah, tapi bagaimana pun juga, aku harus ikut tanggung jawab, benar atau salah.